Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 513)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 28 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang

 

PETANG menjelang, kami pun berkemas untuk kembali ke area steril rutan. Setelah seharian menghabiskan waktu di ruangan bagian umum. Ketika kami melewati halaman depan kantor rutan, tampak pegawai penanggungjawab Blok B tengah berdiri di pintu.


Aku mengajak Didit dan Yoga mendekat. Setelah bersalaman, aku menyampaikan bila pengendali operasional harian Blok B adalah Didit, tentu tetap berkoordinasi denganku.


“Bagus kalau om sudah bergerak. Atur aja sama om. Yang penting semua aman dan terkendali. Hindari kegaduhan. Upayain kawan-kawan yang main love scam disatuin aja nanti kamarnya, biar gampang memantau mereka,” ujar pegawai penanggungjawab Blok B.


“Maksudnya yang main love scam itu seperti apa, dan?” tanya Didit.


“Itu lo, kawan-kawan yang modus ngaku-ngaku aparat dan deketin perempuan-perempuan terutama TKW. Intinya, ya menipu untuk dapet uang mereka,” jelas pegawai penanggungjawab Blok B, sambil tersenyum.


“Emang ada yang modus gituan di blok kita?” tanya Didit lagi. Wajahnya penuh keheranan.


“Nanti om Mario yang jelasin dengan rinci gimana kondisi setiap kamar di blok kita. Dia paham bener kok situasinya,” sahut pegawai penanggungjawab blok, masih dengan tersenyum.


Aku meminta kepada pegawai penanggungjawab blok untuk secepatnya mengeluarkan surat mutasi bagi Didit, agar ia bisa menempati kamar forman. Kamar 20. 


“Oke, malem nanti sudah bisa mutasi kamar, om. Habis dari sini, siapin barang-barangmu ya, Didit,” jawab dia. 


Setelah berbincang beberapa saat, kami berpamitan dan berjalan menyelusuri tepian lapangan untuk kembali ke Blok B. Aku mengajak Didit duduk di taman kecil yang ada di depan kamar 25. Dengan terinci, aku sampaikan situasi di blok khusus bagi pelaku kriminal umum tersebut.


“Jadi ada 15 orang ya, yang praktik penipuan modus love scam itu, bang. Aku bener-bener nggak tahu selama ini,” ucap Didit, setelah aku menjelaskan situasi warga binaan di Blok B.


“Iya, nanti kita satuin kamar mereka. Biar gampang mantaunya. Juga jelas pundi-pundi yang bisa kita ambil, kalau pas ada perlu-perlu,” kataku.


“Jadi, selain kewajiban per-kamar untuk hp, mereka juga harus sisihin buat operasional kita ya, bang,” tanya Didit.


“Iya, harus gitu, Dit. Nggak usah ditentuin jumlahnya. Kapan kita perlu, minta sama mereka. Paling juga sebulan sekitar Rp 2 sampai Rp 3 juta aja kok,” jelasku.


“Emang pendapatan mereka yang modus love scam itu besar ya, bang?” kembali Didit bertanya.


“Besarlah. Bahkan ada yang di atas Rp 100 juta sebulannya. Tergantung kepinteran mereka aja merayu perempuan yang jadi calon korbannya. Kalau rata-rata, ya sekitar Rp 20 jutaanlah sebulannya, Dit,” uraiku.


Saat kami berbincang, aku melihat Rudy tengah berjalan untuk memasuki kamarnya. Segera aku memanggilnya dengan setengah berteriak. Dengan langkah terburu-buru, anak muda yang menjadi OD kamar 20 itu pun mendekat.


“Siap perintah, om,” kata Rudy, setelah menyalamiku dan Didit. Ia mengambil tempat di kursi taman samping Didit. 


Aku menjelaskan perubahan pengendali Blok B. Termasuk Didit selaku pemegang kendali operasional harian, dan nanti malam akan segera masuk ke kamar forman. Kamar 20.


“Siap amanin, om. Perintah lainnya apa,” tanggap Rudy dengan cepat.


“Panggil Tri dan Iwan. Mereka kan yang nangani uang kunci dan uang air. Semua koordinasinya sama Didit, jadi harus ketemu dan ngobrol. Nanti malem aja, kalau Didit sudah masuk kamar 20,” lanjutku.


Tepat ketika suara adzan Maghrib menggema, perbincangan kami pun berakhir. Masing-masing kembali ke selnya. Selepas mengikuti solat berjamaah di kamar, baru aku membersihkan badan. Dilanjutkan membaca Alqur’an hingga saatnya solat Isya berjamaah.


Sambil makan malam bersama, aku menyampaikan informasi mengenai perubahan pengendali blok sepeninggal Dino dan Basri. Semua urusan Blok B ditangan Didit.


“Jadi, nanti semua kamar wajib ada hp ya, om?” tanya kap Yasin.


“Iya, kap. Minimal lima botol. Rencananya, nanti malem-maleman Didit akan keliling kamar kok. Ngobrol sama kepala kamar. Ada beberapa hal yang berubah. Tapi yakin aja, semua buat kenyamanan kita semua sebagai warga binaan,” tuturku.


“Kenapa bukan om aja yang jadi kepala blok?” tanya Anton.


“Aku kan sudah aktif jadi tamping bagian umum, Ton. Dari pagi sampai sore ngantornya. Lagian, malamku sudah ada agenda nulis cerpen. Nggak bisalah nangani urusan blok. Ketimbang nggak ketanganan, baikan orang lain,” jawabku, seraya tersenyum.


Aku memang tidak menceritakan bila sesungguhnya akulah kepala Blok. Didit pengendali harian. Yang keseluruhannya mesti berkoordinasi denganku. Hal ini aku lakukan semata-mata agar kawan-kawan sekamar tetap bersikap seperti biasanya kepadaku. Yang penuh canda, saling mentertawakan, dan lepas dari semua beban posisi di dalam sel. 


Seusai makan malam dan berbincang sebentar dengan kawan-kawan di ruang depan, aku naik ke bidang tempat tidur. Mengambil buku harian. Mencatat semua peristiwa yang aku alami. Dilanjutkan dengan mengambil buku dan pulpen khusus untuk menulis cerita pendek. 


Karena telah mulai terbiasa membuat cerpen, aku tidak perlu waktu berlama-lama untuk menghasilkan sebuah karya. Yang merupakan sepenggal kisah kehidupan tahanan. Dan setelah kembali membacanya beberapa kali, aku pun menutup buku dan istirahat.


Seperti biasa, aku dibangunkan ketika waktu solat Subuh menjelang. Seusai mengikuti jamaahan, aku berniat kembali ke tempat tidur. Namun pak Waras dan pak Ramdan mengajak berolahraga. Jogging mengelilingi lapangan sepakbola.


Pagi itu, belum lagi matahari menunjukkan sinarnya, kami bertiga telah melakukan olahraga penuh dengan keceriaan, sehingga tidak terasa telah 15 kali memutari lapangan. Saat beristirahat di tepian selasar, pak Ramdan menunjuk ke arah masjid. Tampak seorang pria sedang menyapu pada bagian terasnya. (bersambung)

LIPSUS