Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 512)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 27 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


SUDAH kebayang belum, siapa yang mau dijadiin pengendali bayangan?” tanya komandan, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Sudah sih, pak. Ada beberapa. Tapi hati ini, lebih mantep sama Didit,” jawabku.


“Pertimbangannya ke Didit kenapa?” tanya komandan lagi.


“Didit kan dikenal hampir sama semua penghuni blok. Karena dia pelatih tim volly. Pembawaannya slow, punya kemampuan mimpin dengan baik. Bisa ngerangkul tanpa pakai mukul. Selain itu, dia punya uang,” jelasku.


“Iya, saya juga sepakat sama Didit, pak. Nggak banyak ulah, nggak banyak omong tapi teges,” sahut komandan, sambil mengacungkan jempol.


Suara adzan Ashar dari masjid di dalam kompleks rutan terdengar dengan kencangnya. Yoga langsung keluar ruangan kepala bagian umum. Mengajak solat berjamaah. Komandan berpamitan untuk kembali ke posnya.


“Abang beneran mau pegang blok?” tanya Yoga, ketika kami menyelusuri tepian lapangan untuk menuju masjid.


“Iya. Kamu kan denger sendiri obrolan tadi. Gimana nurut kamu,” sahutku.


“Setuju, bang. Pola yang disaranin Bos juga komandan tadi, pas emang buat abang terapin. Abang nggak perlu nonjol, tapi pegang remote. Itu namanya main cantik,” lanjut Yoga. 


“Kalau soal Didit, gimana nurut kamu?” tanyaku.


“Cocok juga. Bang Didit itu biasa dan pengalaman nangani ratusan orang pegawai di kantornya. Pasti bisalah jalani tugas disini. Ditambah bawaannya kan ramah dan santai. Itu bakal buat kondisi blok kita lebih nyaman. Nggak sedikit-sedikit main gebuk dan tendang kayak waktu Dino sama Basri megang blok,” urai Yoga. 


Seusai mengikuti solat berjamaah, aku melihat Didit tengah tepekur di sudut kanan shaf terdepan masjid. Tampak pria yang berusia beberapa tahun di bawahku tersebut, sedang menyampaikan harapan kepada penguasa langit dan bumi, Allah Rabbul Izzati. 


Aku memberi isyarat kepada Yoga, untuk menunggu Didit yang tengah khusu’ berdoa. Saat duduk di teras masjid, kami bertemu dengan pak Hadi dan pak Raden. Yang sama-sama baru menyelesaikan ibadah. Berbincang beberapa saat. Setelahnya mereka kembali ke kamarnya. Di Blok C.


“Dit, bisa kita ngobrol sebentar,” kataku, menyapa pria yang selalu berpenampilan perlente itu, saat ia akan keluar masjid.


“Oh, abang. Siap perintah,” balasnya, dan segera menyalamiku. Juga Yoga.


Kami mengajak Didit ke ruangan bagian umum. Pria yang terlilit kasus illegal logging ini, tampak memperhatikan sekeliling dengan penuh keheranan ketika kami membawanya memasuki ruang P-2-O dengan santai, dilanjutkan menaiki tangga untuk sampai ke tempat tujuan.


“Enak bener abang sama Yoga ini ya. Bisa nongkrong disini setiap harinya. Bener-bener tahanan istimewa,” ucap Didit, ketika duduk di sofa panjang.


Tidak lama kemudian, ia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah dalam. Melihat langsung kompleks steril rutan dengan jelasnya. Beberapa kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Berdecak kagum.


“Nggak ada yang nggak bisa dipantau dari sini rupanya ya, bang,” kata Didit. Masih dengan beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan mendapatkan sesuatu yang sangat surprise.


Yoga mengajak Didit masuk ruang kerja kepala bagian umum. Ia membuka jendela. 


“Masyaallah. Ini mah sama aja kayak kita tinggal di kompleks perumahan, Yoga. Rumah-rumah tetangga kelihatan bener. Sudah setahun lebih aku disini, baru tahu kalau dari sini bisa mantau dalem dengan leluasa dan buka jendela kelihatan perkampungan penduduk kayak di perumahan,” ujar Didit, sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Kapan aja abang bisa nongkrong disini kok. Tapi, ada pintu masuknya,” kata Yoga.


“Apa pintu masuknya?” tanya Didit, dan kembali duduk di sofa yang ada pada ruangan penerima tamu.


“Ikuti maunya bang Mario,” jawab Yoga, pendek. Memancing dan mengukur integritas serta loyalitas Didit kepadaku. 


“Kalau abang yang merintah, aku pasti ikutlah, Yoga. Nggak bakal berani bantah, apalagi ngelawan,” sahut Didit, dengan serius.


Yoga memberi isyarat kepadaku untuk segera menyampaikan apa yang menjadi pembicaraan kami sebelumnya. Dengan ringkas, aku pun menceritakan semua proses yang menempatkanku sebagai pengendali blok tahanan alias kepala blok. Termasuk kewajiban per-minggu yang wajib disetorkan kepada pegawai penanggungjawab blok. Juga pola dan langkah-langkah yang menjadi pilihanku.


“Boleh tahu, kenapa aku yang abang tunjuk jadi pengendali bayangan di blok kita?” tanya Didit, setelah mendengar dengan serius apa yang aku sampaikan.


“Karena aku percaya sama kamu, Dit. Cuma itu alasannya,” jawabku, menatapnya.


“Kalau itu alasannya, aku siap perintah, bang. Karena kalau sudah bicara kepercayaan, masuk semua pernak-perniknya,” ujar Didit dan berdiri untuk menyalamiku.


“Terimakasih ya, Dit. Kita sama-sama kendaliin blok. Kamu ujung tombaknya. Nanti aku panggil Tri yang nangani urusan kunci dan Iwan yang ngelola air, buat koordinasi sama kamu,” kataku.  


“Gimana kalau kita masukin Aris juga, bang. Dia kan punya pengalaman dekati orang,” ujar Didit.


“Aku juga sempet kepikir sama Aris, Dit. Cuma, dia kan sekarang tamping mesjid. Dan kayaknya, itu buat dia nyaman,” sahutku.


“Iya juga sih. Dia nyaman sekarang. Lebih tenang bawaannya. Sebaiknya, kita jangan ganggu dia. Kita kan nggak tahu, di balik pembawaannya itu, sebenernya ada sepotong jiwanya yang amburadul, pikiran yang babak-belur, bahkan hati yang lagi hancur lebur,” tutur Didit dengan wajah serius.


Aku dan Yoga sama-sama menganggukkan kepala. Memahami betapa perhati dan penuh pengertiannya Didit akan kondisi seseorang di dalam rutan. Sekaligus menunjukkan kepiawaiannya “melepaskan” jiwa dan pikirannya dari keterkungkungan badan. 


“Perintah lanjutannya gimana, bang?” tanya Didit, sambil menyulut rokok yang sejak tadi ada di tangannya.  


“Segera kamu temui semua kepala kamar. Sampein soal botol –hp- itu. Buat kesepakatan lima botol sebulannya bayar Rp 12 juta, lebih dari lima botol itu, nambah lagi bayarannya,” kataku.


“Katanya Rp 10 juta, kok jadi Rp 12 juta, bang,” ucap Didit, menyela dengan cepat.


“Jangan dipotong dulu dong, belum selesai jelasinnya. Kenapa jadi Rp 12 juta? Kan nggak mungkin nyuruh kepala kamar gitu aja. Kelebihan Rp 2 juta itu maksudku, yang Rp 1.500.000 buat kepala kamar, yang Rp 500.000 buat kamu. Kalau ada bagian juga, mereka pasti mau serius jalani tugas nagihin dan ngawasi siapa aja yang pegang hp di kamarnya, Dit,” jelasku.


“Paham aku, bang. Jadi nanti nggak ada lagi di blok kita, kamar yang nggak ada hp-nya ya, bang. Karena ada uang bagian buat kepala kamar perbulannya,” tanggap Didit.


“Itu arahnya, Dit. Harus ada manfaat buat kawan-kawan kepala kamar dengan kita jadi pengendali blok. Pemasukan kamu lumayan juga, kan Rp 500.000 kali 33 kamar. Khusus kamar 20 karena kamar forman, bebas bayar apapun. Mulai besok, kamu pindah ke kamar itu,” lanjutku.


“O gitu. Jadi aku yang ke kamar forman, bukan abang?” tanya Didit, sambil mengernyitkan dahinya.


“Kamu yang tinggal di kamar itu. Aku tetep di kamar 30. Dengan begitu, semua orang tahu kalau kamu kepala blok. Hal-hal penting, kita seobrolan. Simpelkan,” jawabku, sambil tertawa. (bersambung)

LIPSUS