Oleh, Dalem Tehang
SEKEMBALI ke kamar, aku langsung berwudhu dan bergabung dengan pak Waras, juga pak Ramdan dan Anton untuk melaksanakan solat berjamaah. Mata Anton tampak terkantuk-kantuk.
“Kamu belum tidur, Ton?” tanyaku.
“Belum, om. Nungguin om yang asyik ngobrol tadi. Kirain mau kirim-kirim makanan, nggak tahunya nggak ada kiriman,” sahut Anton, sambil tersenyum kecut.
“Aku nggak tahu kalau kamu nggak tidur. Kalau tahu, pasti dikirimlah. Salah kamu, kenapa nggak kasih kode,” ujarku lagi.
“Tadi masih sama Teguh, om. Emang dia bilang, kasih kode ke om. Eh, nggak lama dari situ, dia malah tidur. Aku nggak enak mau kasih kode ke om,” jawab Anton.
“Ya udah, abis ini kan tamping yang jual sarapan lewat. Beli aja. Nanti aku yang bayar. Beliin juga Teguh. Bangunin dia kalau sarapannya sudah siap,” kataku. Dan mengambil uang untuk Anton dan Teguh membeli sarapan.
“Emang habis ini om mau ngapain?” tanya Anton.
“Mau tidur sebentar. Tolong nanti bangunin jam 07.45 ya. Aku kan jam 08.30 harus keluar. Ngantor di bagian umum,” ucapku, sambil menuju ke kasur dan langsung merebahkan badan. Tidur.
Anton memang disiplin. Tepat pukul 07.45, ia membangunkanku. Setelah mandi dan memakai kaos berkerah dengan tulisan WBP serta bercelana panjang, aku duduk di ruang depan. Berdampingan dengan pak Waras yang tengah membaca buku sambil mengirup teh manis kesukaannya.
“Om mau dibuatin sarapan mie nggak?” tanya pak Ramdan, saat menaruhkan secangkir kopi pahit di depanku.
“Boleh, pak. Kasih abon nanti ya. Ambil aja di lokerku. Sekalian sama pak Ramdan dan pak Waras, kalau mau sarapan juga,” kataku.
Selepas menikmati sarapan mie rebus dicampur abon sapi, tidak lupa aku meminum vitamin. Badan terasa lebih segar. Ketika aku melihat Yoga keluar kamarnya, buru-buru telepon seluler aku masukkan ke balik kaos. Terjepit di pangkal celana jeans. Tidak lama kemudian, ia datang ke kamar bersama tamping kunci.
“Sudah siap ngantor, bang?” sapa Yoga, dengan senyum sumringahnya.
“Siap, Yoga,” jawabku singkat.
Kami berjalan santai menyelusuri selasar Blok B untuk menuju pos penjagaan dalam. Setelah melapor, melanjutkan langkah melewati tepian lapangan untuk sampai ke gerbang batas area steril. Kembali melapor di pos penjagaan luar.
“Wah, om Mario sudah jadi tamping umum juga ya, Yoga?” tanya seorang sipir yang bertugas di pos penjagaan luar.
“Iya, nemeni aku. Biar bang Mario nggak bete di dalem terus,” jawab Yoga, seraya tersenyum.
“Selamet kalau gitu, om. Inget-inget kalau ngerekap absen bulanan ya. Jangan kayak Yoga, pernah selip nulis aku nggak masuk tiga hari,” lanjut sipir bernama Torik itu, sambil tertawa ngakak.
Yoga spontan tertawa juga. Aku hanya tersenyum. Sipir itu kemudian mempersilakan kami menuju gerbang P-2-O. Dan selanjutnya menaiki tangga untuk sampai ke ruang bagian umum rutan.
Seusai Yoga mengecek surat-surat yang ada dan merapihkan posisinya di meja kerja pak Manto, ia keluar ruangan. Mengajakku menyapa semua pegawai yang bertugas pada bagian umum. Sekitar delapan orang. Kami berbincang ringan beberapa saat. Baru kemudian kembali ke ruang kepala bagian umum.
Tepat pukul 09.00, pak Manto datang. Wajahnya sumringah seperti biasa. Ia menyalami aku dan Yoga. Dibukanya tas yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan. Berisi panganan kecil. Kue serabi dan kue pukis.
Seorang staf membawa tiga gelas minuman hangat. Teh manis untuk pak Manto, dua lainnya kopi untuk aku dan Yoga. Juga menaruhkan beberapa gelas air mineral di meja sofa panjang yang ada pada ruang depan. Tempat pak Manto menerima tamu.
Sambil menyeruput beberapa kali teh manisnya, pak Manto memeriksa semua surat yang ada di meja dengan cermat. Sesekali ia menelepon, mengkonfirmasi surat yang sedang dibacanya. Tampak ia memang sosok yang sangat teliti dan hati-hati.
Setelah semua surat ia disposisi, Yoga bergerak untuk meneruskan sesuai yang tercatat pada bagian bawah surat-surat tersebut. Saat itulah aku meminta waktu untuk berdiskusi dengan pak Manto.
Dengan ringkas aku menyampaikan pembicaraan dengan pegawai penanggungjawab Blok B dinihari tadi. Termasuk kewajiban mingguan dan sebagainya. Selama aku bercerita, pak Manto mendengarkan dengan seksama, dan sesekali menganggukkan kepala, juga melepas senyum sumringahnya.
“Memang ini kesempatan langka, bang. Tahanan belum inkrach tapi sudah dipercaya untuk kendaliin sebuah blok. Juga jadi tamping seperti ini. Semua tinggal kembali ke abang aja,” tanggap pak Manto.
“Maksudnya, pak?” tanyaku.
“Sederhananya gini. Kalau abang pengen disini dapetin uang sekaligus disegeni tahanan karena posisi, ya mainkan. Bener itu, jangan bicara baik-buruk, nyakiti orang atau nggak. Kalau abang pengen ngisi waktu disini buat perbaiki diri dan deketin diri sama Tuhan, hindari hal-hal yang neken sesama tahanan. Pilihan ada di abang sekarang ini,” jelas pak Manto. Wajahnya berubah menjadi kaku. Tampak ia memahami benar kegalauanku dalam hal ini.
“Emang kalau mau perbaiki diri sekaligus deketin diri sama Tuhan, mesti hindari hal-hal yang neken sesama ya, pak?” tanyaku dengan serius.
“Sudah pasti itu, bang. Dan emang harus gitu. Saya pernah baca di sebuah buku, seorang muslim yang baik itu yang nggak ngeganggu orang lain dengan lisan atau tangannya,” jawab pak Manto, dengan tegas.
“Paham aku sekarang. Terus nurut pak Manto, emang bisa ya mainin uang sebegitu banyak per-minggunya?” tanyaku lagi.
“Kalau bener-bener mau main, apa yang disampein penanggungjawab blok itu sebenernya kecil. Abang hitung aja perputaran uang disini perharinya. Buat urusan makan ajalah, misalnya. Katakanlah dari 1.200-an orang saat ini, setiap harinya ada 1.000 orang yang keluarin uang Rp 50.000 aja buat beli makanan, sudah berapa jumlahnya. Belum lagi rokok dan sebagainya. Itu yang nyata-nyata lo. Ditambah yang lain-lain, pengeluaran yang macem-macem. Abang pahamlah,” jelas pak Manto.
“Estimasi kasar, berapa putaran uang disini perharinya ya, pak?” tanyaku lagi. Penasaran.
“Kalau Rp 75 juta perputaran uangnya, masih dianggep kecil juga sebenernya, bang,” urai pak Manto, kembali dengan gaya santainya.
“Bisa mencapai Rp 100 jutaan kalau gitu ya,” sambungku.
“Yah, nggak kurang dari itulah, bang. Sehari lo itu. Kalau seminggu atau bahkan satu bulan, sudah berapa,” ucap pak Manto, dan tertawa lepas. (bersambung)