Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 508)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 23 Mei 2023


Oleh, Dalem Tehang


NGGAK salah kan kalau aku punya pandangan gitu, om. Sebab, dengan itulah aku ngerasa lebih tenang. Sedihku karena nggak dianggep lagi sama orang tua, bisa terkikis,” lanjut Anton, memandangku dengan tatapan serius.


“Nggak salah, Ton. Justru pandanganmu itu ngebuka hati dan pikiranku. Mungkin juga pak Waras dan kawan-kawan lain yang sudah berkeluarga. Emang kadang kita dapetin motivasi dengan ngebandingin apa yang kita alami sama orang lain, walau nggak boleh juga terus-terusan ngebandingin hidup orang lain,” sahutku.


“Bener itu, om. Nurutku, sepanjang dengan ngebandingin hidup kita sama orang lain itu bawa nilai positif buat diri sendiri, kenapa nggak. Makanya, aku nggak setuju kalau ada yang bilang, jangan pernah bandingin hidupmu sama orang lain, karena masing-masing kita beda. Secara global, ya emang beda. Tapi, ada hal-hal yang kita perlu belajar juga dari orang lain lewat perbandingan. Gitu kan, om,” kata Anton lagi.


“Iya, aku sepakat sama pandanganmu, Ton. Ada hal-hal yang perlu kita pelajari dari orang lain untuk pengetahuan kita. Yang nggak pas sama pribadi kita, ya nggak usah dibandingin. Kalau kata orang, fleksibel dalam melihat sekeliling itu jalan tengah biar hidup tenang,” ucapku.


“Jadi, om sepakat sama caraku buat ngurangi rasa sedih, ngebandingin nasib kawan-kawan yang berstatus kepala keluarga dengan kesedihan lebih berat dirasain istri dan anak-anaknya?” tanya Anton.


“Sepakat, Ton. Caramu memotivasi diri sendiri itu sangat apik. Kamu bisa mengemas dengan baik apa yang disebut ilmu olah rasa, bukan sekadar olah pikir atau olah raga aja. Kagum aku sama cara pandangmu,” jawabku, dan mengacungkan kedua jempol tangan ke arah Anton.


Beberapa saat kemudian, sambil tersenyum Anton bergerak. Kembali ke ruang depan. Berbincang ringan dengan kawan-kawan. Aku meneruskan membuat tulisan. Cerpen. Yang termotivasi berkat sahabatku, Dian.  


Waktu telah memasuki dinihari, ketika terdengar sebuah suara menanyakanku. Teguh dan Anton yang masih bermain catur di ruang depan, menjawab bila aku masih menulis. 


“Tolong panggilin, kalau belum tidur,” kata suara itu.


Teguh bergerak. Berjalan ke arah bidang tempatku. Memberitahu bila aku dicari pegawai penanggungjawab Blok B. Sambil merapihkan kain sarung, aku melihat jam di dinding. Pukul 01.20. 


“Belum tidur kan, om. Bisa ngobrol-ngobrol sebentar,” kata pegawai penanggungjawab Blok B itu, setelah aku menyalaminya dari sela-sela jeruji besi.


“Siap, pak,” jawabku, pendek.


Pegawai itu memanggil tamping kunci. Beberapa menit kemudian, aku telah keluar kamar. Kami duduk di gazebo depan kamar 34. Tamping waserda yang menjajakan makanan, dipanggilnya. Dua kantong plastik berisi minuman jahe hangat dan dua potong roti bakar menjadi teman kami berbincang. 


“Gimana, om siap kan pegang blok ini. Saya back up semuanya,” kata pegawai berbadan tegap yang berusia lebih muda beberapa tahun dariku itu.


“Apa kompensasi yang mesti aku siapin dengan posisi itu?” tanyaku, terusterang.


Tanpa tedeng aling-aling, pegawai penanggungjawab blok tersebut menguraikan berbagai hal yang harus aku lakukan sebagai kepala blok. Intinya, setiap pekan ia membutuhkan pemasukan minimal Rp 10 juta. 


“Darimana bisa dapet uang sebanyak itu per-minggunya, pak. Nggak kebayang sama aku,” tanggapku, dengan nada terkejut.


“Om olah aja semuanya. Apapun yang ada disini, bisa jadi duit. Mulai dari air, pintu, hp, dan sebagainya. Justru saya bilang dana segitu karena tahu kalau om belum biasa main. Kalau Basri sama Dino kemarin, minimal Rp 12 jutaan setor ke saya setiap minggunya,” ujar pegawai tersebut, dengan serius.


“Jujur, belum kebayang sama aku gimana ngatasi soal kebutuhan dana itu, pak. Mohon waktu, aku pikirin dulu ya. Kalau ada yang sudah siap, jadiin aja dia, aku dampingi,” jawabku, setelah berpikir beberapa saat. 


“Sudah ada yang mau jadi tamping kunci, om. Dia siap bayar belasan juta, karena masa tahanannya juga masih lama. Gitu juga tamping air. Ada yang siap setor. Tapi, kalau pun jadi, mereka koordinasinya tetep sama om. Nggak boleh jalan sendiri. Kalau pengendali siapa aja pemilik hp di blok ini, harus om langsung. Nggak bisa diserahin sama orang lain,” lanjut pegawai itu. Masih dengan nada serius.


“Kenapa kalau hp harus aku langsung, pak?” tanyaku.


“Karena uangnya kan gede, om. Setiap minggu minimal Rp 2,5 juta perkamar. Setiap kamarnya Rp 10 juta sebulan. Maksimal lima hp. Di atas itu, ya wajib nambah. Soal berapa besar tambahnya, atur aja sama om,” urainya. 


Aku hanya diam. Sambil menghisap rokok yang ada di tangan, mendadak teringat pesan seorang sahabat: Orang yang terlalu memikirkan akibat dari suatu keputusan atau tindakan, sampai kapan pun ia tidak akan menjadi pemberani. 


Terjadi perang batin yang cukup sengit pada diriku. Di depan mata terdapat peluang spektakuler. Bukan hanya posisi prestisius sebagai kepala blok, tetapi juga kucuran pendapatan.


“Minta waktu dua hari ya, pak. Biar aku jajaki dulu dengan kawan-kawan kepala kamar, juga nimbang baik-buruknya,” kataku, setelah kami sama-sama diam beberapa saat.


“Boleh, om. Tapi, jangan lewat dua hari ya. Karena aku kan nggak bisa setiap saat pantau blok ini. Jadi perlu orang kepercayaan buat kendaliinnya,” jawab pegawai penanggungjawab Blok B tersebut.


Ia menambahkan, posisi sebagai pengendali sebuah blok pada sebuah kompleks tahanan –rutan maupun lapas- merupakan incaran banyak orang. Bahkan tidak jarang terjadi perebutan, sehingga meletupkan perkelahian, bukan hanya personal tetapi juga kelompok. 


“Tapi memang, begitu pegang posisi kepala blok, harus mau nyingkirin rasa nggak enak hati dan sebagainya. Juga jangan bicara soal baik-buruk, om. Yang penting, selama di dalem tetep bisa enak makan dan makan enak, terus apa yang dipengenin, kebeli,” lanjut pegawai itu, seraya tersenyum.  


Tamping waserda berkeliling untuk kedua kalinya, menwarkan jajaannya. Pegawai yang tengah berbincang denganku, kembali memanggil. Membeli dua bungkus nasi berlauk ayam penyet. Menjelang datangnya waktu Subuh itu, kami pun makan berat. 


Baru saja kami menyelesaikan makan, terdengar suara adzan Subuh. Kembali Aris yang mengalunkan dengan syahdu panggilan untuk bersujud kepada Sang Pengatur Kehidupan itu. Kami pun menyudahi pertemuan. Dengan kesepakatan, maksimal dua hari ke depan aku telah menetapkan keputusan. (bersambung)

LIPSUS