Oleh, Dalem Tehang
PERLAHAN, hujan mereda. Beberapa tamping kebersihan memulai kegiatannya. Membersihkan seluruh selasar, saluran air, hingga ruang masuk Blok B. Suara mereka yang penuh canda tawa adalah kekhasan tersendiri, yang selalu membangkitkan semangat untuk memulai hari. Meski hanya beraktivitas di dalam sel hingga waktu pintu kamar dibuka, tiba.
Seusai menikmati sarapan dan membersihkan badan, aku mengaktifkan telepon seluler. Menyapa istri dan anak-anak. Menyemangati mereka. Sekaligus menebar keyakinan, jika doaku tiada pernah putus untuk keselamatan dan kesuksesannya. Doaku selalu mendampingi mereka dimana pun berada.
Istriku yang membalas terlebih dahulu WhatsApp yang aku kirimkan. Ia tengah di kantor dengan berbagai kegiatannya. Setelah beberapa lama, baru Bulan dan Halilintar menjawab. Mereka hari itu banyak kegiatan ekstra di sekolahnya.
Ada sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Dari Dian. Sahabat lamaku. Ia memotivasi agar aku membuat tulisan pendek mengenai kehidupan orang-orang yang ada di rutan.
“Buat kayak cerpen yang ceritain kisah orang-orang yang abang kenal aja. Selain buat pembelajaran kami yang di luar, juga ngilangin bete abang karena ada penyaluran positif dari pikiran,” tulis Dian dengan panjang lebar.
Membaca pesan motivasi Dian, hati dan pikiranku langsung menyambut baik. Apalagi ia menjanjikan akan menayangkan cerpen-cerpenku di sebuah medio online, yang juga milik seorang sahabatku.
“Badan boleh di penjara, tapi pikiran abang harus terus berseliweran di dunia maya. Nulis kehidupan warga binaan itu jarang dilakuin orang. Dan saya yakin, abang bisa lakuin sesuatu yang langka tersebut,” sambung Dian. Memotivasi.
Irisan semangat yang dirangkai oleh sahabat lamaku ini, menyulut gairahku untuk melakukan sesuatu yang langka. Aku ingin memberi warna tersendiri, terutama untuk jiwa dan pikiranku.
“Oke, nanti aku coba ya, Dian. Terimakasih banyak atas motivasinya,” balasku.
“Siap. Saya yakin, abang pasti bisa. Keluarin kecerdasan yang ada di pikiran, ramu dengan kedalaman batin merasakan kehidupan di dalem penjara. Pasti ada nilai tersendiri buat yang bacanya,” sambung Dian dalam WhatsApp-nya.
“Serius amat baca wa-nya, ayah. Kayaknya ada yang nyenengin hati ya,” tiba-tiba Teguh nyeletuk setelah keluar dari kamar mandi, melihatku tengah memperhatikan pesan-pesan yang masuk ke ponselku.
“Alhamdulillah, Guh. Istri dan anak-anak selalu sehat dan tetep semangat beraktivitas seperti biasa. Juga ada ide penuh motivasi dari kawan untuk aku buat cerpen,” jawabku, dengan senyum sumringah.
“Cerpen apa maksudnya, ayah?” tanya Teguh.
“Cerpen soal kehidupan orang yang masuk sini. Misalnya kamu, karena kasus narkoba. Gimana kamu bisa terjerumus jadi bandar besar peredarannya. Yah, banyak kayaknya yang bisa aku salurin. Biar ngurangi beban di pikiran dan batin juga, selain ngembangin bakat minat,” uraiku.
“Wah, bagus itu, ayah. Jarang-jarang orang di penjara yang punya kesempatan dan kemauan kayak gini. Mainkan ayah. Aku dukung,” sambut Teguh dengan antusias.
“Kamu kayaknya lebih semangat dariku nanggepi ide kawan itu, Guh,” ujarku, menyela. Seraya tertawa.
“Gini lo, ayah. Tuhan kan sudah netepin takdir indah dalam setiap lembar hidup ayah. Maka, jangan satu masalah buat ayah tertahan pada satu lembaran hidup itu aja. Ide kawan ayah itu sangat brilian, dan ngebuka jalan buat ayah biar nggak terus-terusan dilingkupi kegupekan pikiran dan ketrenyuhan jiwa,” balas Teguh, dengan wajah serius.
“Bahasamu itu bagus bener, Guh. Mulai masuk ke gaya-gaya filosof,” kataku, masih sambil tertawa.
“Aku kan banyak belajar keilmuan yang bawa ketenangan batin selama disini, ayah. Aku juga termotivasi sama apa yang disampein Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang bukunya aku pinjem dari pak Waras beberapa hari lalu,” lanjut Teguh.
“Emang apa kata Ibnu Qayyim di buku itu?” tanyaku, dengan nada penasaran.
“Dia bilang: Jangan rusak kebahagiaanmu dengan kekhawatiran, dan jangan rusak pikiranmu dengan pesimisme. Jangan rusak kesuksesanmu dengan kecurangan, dan jangan rusak optimisme orang lain dengan menghancurkannya. Juga jangan rusak harimu dengan melihat kembali hari kemarin. Penuh makna kan perkataan Ibnu Qayyim itu, ayah. Itulah kalimat yang memotvasiku,” tutur Teguh, panjang lebar.
Aku tersenyum mendengar perkataan Teguh. Anak muda yang sebenarnya memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Yang kini harus menjalani kehidupan penuh keterbatasan gerak akibat terjerumus dalam peredaran narkoba.
“Ayah yang optimis ya. Nanti aku yang beliin buku sama pulpen untuk buat cerpennya. Tapi, dalam tulisan itu ayah jangan ngehakimi ya. Buat aja sesuai alur yang sebenernya,” ucap Teguh, setelah kami berdiam beberapa saat.
“Maksudmu jangan ngehakimi itu kayak mana sih, Guh?” tanyaku, tidak memahami penekanan perkataannya.
“Gini lo. Kan ayah mau buat cerpen soal kisah orang sampai masuk bui. Ya tulis apa adanya aja. Jangan ngehakimi orangnya. Karena yang nggak salah itu perbuatannya, bukan orangnya. Ayah pahamlah maksudnya,” jawab Teguh.
“O gitu ya, Guh,” tanggapku, pendek.
“Iya, harus gitu, ayah. Kita sekarang ada disini kan karena perbuatan salah kita. Kalau kita sebagai manusia, sama dengan yang lain. Sama-sama makhluk Tuhan, nggak ada bedanya. Kalau kata guruku dulu, jangan mudah ngehakimi masa lalu orang lain, siapa tahu Tuhan sudah nerima taubatnya, sedangkan kita bahkan belum diampuni sikap sombong selama ini,” tutur Teguh lagi.
“Bener yang diomongin Teguh itu, om. Yang paling penting, kita buang jauh-jauh sikap sombong apalagi ngehakimi orang lain. Karena sombong adalah sikap yang nolak kebenaran dan remehin manusia,” mendadak kap Yasin menyahut, sambil tetap memejamkan mata dan tidur di atas kasurnya.
“Nyambung aja lo kap ini. Heran aku, kelihatannya tidur, nggak tahunya pikiran tetep aja melek,” celetuk Teguh, sambil menepuk kaki kap Yasin.
“Nah, ini yang aku nggak suka, Guh. Ditepuk kaki. Kalau kakiku sudah kena tepuk, nggak bisa aku ngelanjut tidur,” sahut kap Yasin, diikuti dengan bangun dari kasur lepeknya.
“Oh ya, maaf kap. Aku nggak tahu kalau kap punya pantangan ditepuk kaki,” ucap Teguh dengan wajah serius.
“Emang kali sudah waktunya buatku bangun, Guh. Santai ajalah. O iya, om. Aku dukung rencana nulis cerpen itu. Apalagi kawan om begitu serius kasih motivasi. Jangan kecewain niat baiknya. Tapi saranku, jangan ada sipir yang tahu kalau om buat cerpen soal kehidupan kita di rutan,” kata kap Yasin, memberi pesan, setelah merapihkan tempat tidurnya. (bersambung)