Oleh Endri Y Kalianda
FILM berjudul "Everything Everywhere All at Once" yang mengantarkan Mechelle Yeoh meraih Oscar 2023, berkisah tentang lompatan ke semesta lain berdasar keinginan tokoh.
Dibuka dengan pantulan cermin keluarga pengusaha Coin Laundry, Evelyn. Menjadi lazimnya ibu sekaligus pemilik jasa cuci baju. Gesit, sibuk, juga perfeksionis.
Melayani percakapan dengan anaknya yang bawel, lesbian, suaminya yang nyaris dianggap tak bisa apa-apa, ayahnya yang sakit-sakitan tapi jadi kakek ceriwis, pelanggan yang banyak menuntut, bahkan ada yang nakal dengan memasukkan sepatu ke dalam mesin cuci, menjadi adegan pembuka untuk rasionalitas drama sekaligus perjuangan imigran yang bertarung mendapat kehidupan yang layak di negeri Paman Sam.
Suasana dan alur berubah drastis ketika Evelyn, suami dan ayahnya sampai di kantor pajak. Saat alat telepati dan migrasi ke semesta lain, berupa headset yang dihubungkan ke ponsel diinstal ke kepalanya, Quan Wang (Michelle Yeoh) jadi seperti orang asing yang sibuk dengan dunianya sendiri, meski auditor yang bengis terus mencecarnya tentang hubungan musik dengan usaha laundry, belum lagi sederet pengakuan lain dari Evelyn, seperti penyanyi, novelis, guru, watsu.
Wamond Wang yang diperankan oleh Ke Huy Quan, terus menutupi wawancara itu. Alih-alih selesai, suasana menjadi kacau. Drama kesibukkan pengusaha mengurus pajak ketika akan membuka cabang lain, jadi serial film misteri dan silat, beralih ke genre laga, kungfu, sekaligus komedi.
Terbukalah tabir Jobu Tupaki. “Penduduk thetaverse ke-4.655, kau akan diberkati dengan menyambut pemimpin berdaulat kita, Jobu Tupaki.”
Film itu, bergerak cepat, dan sulit dipahami berdasar aliran. Sebab, semua gaya dimainkan. Bahkan animasi sekaligus karakter film-film lawas, pertemuan kaum bangsawan sampai perayaan imlek, petugas pajak dan polisi yang jadi alat pemeras pengusaha kecil, terus berkellindan dengan lompatan adegan di satu semesta ke semesta lain.
Sebagaimana karakter film-film Michelle Yeoh yang banyak menonjolkan perempuan ahli silat, di sini kadang Evelyn jadi ahli kungfu, jadi pengusaha kaya, jadi anak perempuan yang diusir ayahnya, jadi pengusaha laundry yang nyaris bangkrut, Dr. Karina Mogue dalam "Avatar: The Way of Water" itu secara sempurna menunjukkan kelasnya dalam akting.
Yeoh, belakangan banyak disebut simbol keberhasilan wanita Asia di pentas dunia. Mimpi yang besar akan menjadikan orang itu besar, kata dia dalam sambutan usai diganjar aktris terbaik. Hingga sepekan, ulasan tentang keberhasilan Yeoh masih tersiar.
Namun, entah kenapa film selama dua jam itu tak pernah saya tonton sampai selesai. Bahkan adegan pertarungan antara Evelyn dengan Joy, putrinya yang jadi jelmaan Jobu Tupaki, melesat dari adegan ahli kungfu, ahli sihir, mendadak mengejutkan dengan jadi boneka gantung, lalu lesap, sunyi karena jadi dua batu.
Sampai pada jelang akhir pun, masih ada adegan salaman perkenalan antara Becky dengan Gong Gong. Hanya kalimat pengantar Evelyn dalam memperkenalkan pacar anaknya yang berbeda-beda. Dari yang sinis, jengkel, sampai yang menerima apa adanya.
Bagi saya, drama India atau film model sinetron "Tersanjung" itu, jauh lebih enak ditonton. Mudah sekali membedakan yang jahat dan yang baik, yang kalau marah, adegannya sangat terlihat, mata melotot, suara memekik. Tapi dari film model "Everything Everywhere All at Once" ini kita perlu mengukur ulang standar moral dalam berkebudayaan.
Artinya, apakah Evelyn anak yang baik ketika memilih diusir ayahnya karena memilih ikut calon suami yang tak disetujui? Apakah Evelyn ibu yang baik yang berlaku tegas pada anak gadisnya yang ternyata pacaran dengan perempuan?
Film ini benar-benar kacau menerapkan standar moral yang diaduk-aduk secara jenius, ditambah kehebatan sinematografis, percakapan puitik, sekaligus animasi dan musik yang terbukti, dinominasikan musik pengiring film terbaik.
Saran saya, yang hobi sinetron dan film-film India, tak usah menonton. Sebab, mungkin seperti saya, tak bakal selesai. Entah ketiduran atau merasa bosan karena sulit ikut alurnya, apalagi paham.
Anehnya lagi, film yang banyak dialog pakai bahasa China bisa menang Oscar?*
(dikutip dari status FB Endri Jabung. Endri Y adalah kolumnis dan esais)