Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 145)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 25 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEKITAR 25 menit kami di rumah sakit, komandan pengamanan rutan memberi isyarat kepadaku. Masih ada waktu 15 menit lagi.


Ku dekati Aris. Menenangkannya. Pun kedua anak kembarnya. Ku peluk bapak dan anaknya dalam rengkuh kesedihan. Aku pun larut dalam suasana yang amat menyesakkan itu. 


Hingga komandan pengamanan rutan mendekatiku dan kembali mengingatkan bila waktu tinggal 5 menit lagi.


Aku pun memberitahu Aris, untuk segera kembali ke rutan. Ia mengangguk dan kemudian mencium kening istrinya yang masih penuh bekas darah. Memegang tangan dan menciumnya penuh ketulusan rasa sayang. 


Ia peluk penuh keharuan kedua anak gadisnya. Mereka menangis. Ku dekati mereka. Ku dekap bersamaan. 


Aku bisa merasakan betapa lilitan kesedihan begitu mengencang di batin mereka. Bapak dan kedua anaknya. Air mataku pun jatuh ke lantai ruang UGD.


Dan, beberapa saat kemudian. Kami telah kembali ke dalam kendaraan. Untuk pulang ke rutan. 


Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun di antara kami yang mengeluarkan kata. Semua tengah terbius oleh begitu dahsyatnya kesedihan yang baru saja kami saksikan. 


Sesampai kembali di rutan, aku berpisah dengan Aris di depan pintu kamar. Setelah menyampaikan terimakasih kepada komandan pengamanan yang sudah meluangkan waktu liburnya untuk urusan Aris ini. Dan tentu saja, melewati pemeriksaan di tiga pos pengamanan sejak masuk pintu utama hingga pos dalam. 


“Gimana kondisi istri Aris, Be?” tanya Asnawi begitu aku masuk kamar.


“Kritis emang. Secara medis atau lahiriyah, kecil harapan untuk tetap bisa bertahan,” kataku dengan suara tercekat.


“Emang kayak mana kecelakaannya kok sampai parah gitu?” tanya Asnawi lagi.


“Aku nggak sempet tanya-tanya gimana kejadiannya, Nawi. Karena ngelihat kondisi istri Aris yang sudah parah gitu, juga kedua anak gadisnya, jadi nggak penting lagi buat tahu kasus lakalantasnya. Kita doain aja, istri Aris diberi kesembuhan,” ujarku lagi. 


Asnawi meminta OD membuatkan aku kopi pahit. Namun aku ingin menikmati minuman sereal pada malam yang cukup dingin itu. Ku buka tas, ku serahkan sebungkus sereal yang dibawakan istriku.


Sambil terus berbincang, ku seruput sedikit demi sedikit minuman sereal tersebut. Cukup membuat hangat dan perut kembali mengenyang.


Tamping yang menjajakan pasdal mulai berkeliling. Ku bisikkan pada Asnawi untuk membeli nasi pecel lele. Pada dinihari itu, aku dan Asnawi menikmati pecel lele dengan lahapnya.


“Kalau habis makan, jangan tidur, Be. Baiknya solat malem. Solat taubat atau hajat. Dilanjut wirid apa aja,” kata pak Anas sekeluarnya dari kamar mandi untuk wudhu dan akan melaksanakan solatul lail.


Asnawi mengajakku untuk sama-sama solat malem. Setelah solat taubat dua rokaat dan solat hajat empat rokaat, aku buka Alqur’an. Melanjutkan membaca ayat-ayat Tuhan berikut maknanya. 


Begitu asyiknya aku bercengkrama dengan Kitab Suci hingga terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi adzan Subuh. Pak Waras dan beberapa tahanan lain pun bangun dari tidurnya.


Seusai mengimami solat Subuh, pak Waras memberi kultum. Ia mengibaratkan kami sebagai tahanan adalah orang-orang yang hidupnya terlihat santai tanpa beban, padahal mentalnya sedang dibantai habis-habisan. 


“Disinilah kita harus terus bersyukur, bersabar, dan ikhlas. Karena ketika kesulitan semakin menjadi, maka kemudahan akan mengikuti setelahnya. Ini adalah janji Allah, dan janji ini sudah cukup buat kita. Tanpa kita harus menagih janji itu,” ucapnya dengan suara yang khas; berat.


Tanpa mengenal lelah, pak Waras selalu memotivasi kami untuk tetap optimis akan hari esok. Apa yang dialami hari ini adalah proses penguatan jiwa dan raga, serta kesempatan emas untuk meningkatkan kesadaran akan dimensi kemakhlukan.


“Jadilah kita kuat, agar tak ada seorang pun yang kasihan sama kita. Karena apapun yang menyakiti kita hari ini, akan membuat kita lebih kuat esok hari,” sambungnya.


Ia juga menebarkan perlunya tetap memberi perhatian kepada sesama tahanan. Karena masing-masing kita tetap memerlukan dukungan dari sekeliling. 


“Jangan kita ikut-ikutan menghakimi masa lalu seseorang. Lebih baik, berdirilah di sampingnya. Bantu dia memperindah masa depannya. Karena menjadi tahanan atau narapidana bukanlah akhir perjalanan hidup seseorang,” urai pak Waras.


Ia menambahkan, agar kami jangan pernah takut menghadapi tekanan hidup, sebab kreativitas terbaik itu lahir justru di saat kita menghadapi tekanan.


Selepas mendengarkan kultum pak Waras, aku buru-buru mandi. Seiring mulai mengalirnya air dari keran di kamar mandi. Air di rutan ini terbilang cukup dingin, namun justru membawa kesegaran tersendiri.


Aku agak heran, sampai siang, pintu kamar tidak ada yang dibuka. Padahal, biasanya jam 9-an pintu kamar dibuka bagi tahanan yang berkepentingan untuk keluar kamar. 


Tamping-tamping yang biasanya sejak pagi sudah aktif dengan kesibukan masing-masing, saat itu tidak terdengar suaranya sama sekali. 


Asnawi menjelaskan, bila hari Minggu, pintu kamar akan dibuka untuk tahanan menikmati udara bebas, hanya pada petang hari saja. Terkecuali ada kepentingan tertentu dan seizin sipir yang sedang bertugas.


Saat aku masih berbincang dengan Asnawi, Gerry muncul di depan kamar. Dari balik jeruji besi, ia memanggilku. Ia mengajakku menemui seorang petinggi rutan.


Setelah pintu kamar dibukakan seorang sipir yang sedang bertugas, ku ikuti langkah Gerry menuju kantor rutan. Kami masuk di sebuah ruangan cukup kecil.


Tampak seorang petugas rutan tengah duduk di sofa dengan santainya. Meski berpakaian lengkap, pria berusia sekitar 45 tahunan yang berwajah simpatik itu, sama sekali tidak menunjukkan kegarangan. Bahkan terkesan ia sosok yang freandly. 


“Oh, ini yang pak Mario itu, Gerry?” ucap pria itu, seraya menjulurkan tangannya. Menyalamiku. Dan matanya menatapku penuh perhatian.


“Iya, ini bang Mario, pak. Dia sahabat karib bos Gerry,” sahut Gerry. Kami langsung mengambil tempat duduk di depan pria tersebut.


“Jadi begini, pak Mario. Saya sengaja minta Gerry memanggil bapak untuk ketemu saya. Karena kami dapat informasi kalau bapak hanya satu malam di kamar AO, disebabkan bapak memberi sejumlah uang kepada petugas keamanan rutan. Benar begitu,” ujar pria yang disebut Gerry salah satu petinggi di rutan.


“Memang saya hanya semalam di kamar AO, pak. Tapi saya sama sekali tidak memberi apapun kepada petugas sipir,” kataku dengan tegas.


“Kalau boleh tahu, apa bapak sudah kenal sebelumnya dengan petugas keamanan rutan yang mengurus bapak sewaktu di sel AO?” lanjut pria itu, penuh selidik.


“Saya memang belum kenal sebelumnya. Hanya dia kawan baik adik ipar saya. Dan saya yakin, karena selama ini hubungan mereka cukup baik, jauh dari urusan uang kalau sipir itu membantu saya disini, pak. Apalagi saya tahu persis karakter adik saya. Tidak mungkin dia akan bermain uang untuk urusan seperti ini,” uraiku, panjang lebar.


Saat kami masih berbincang, pintu ruangan dibuka dari luar. Ternyata, komandan pengamanan rutan yang selama ini membantuku, masuk. 


“Jadi tidak benar ya, dan. Kalau komandan membantu pak Mario karena diberi uang?” kata petinggi rutan itu sambil menatapkan pandangannya kepada komandan pengamanan rutan.


“Ya memang tidak ada urusan uang dalam hal ini. Saya membantu pak Mario karena adiknya memang teman baik saya selama ini. Adiknya telepon dan minta bantuan untuk kakaknya, pak Mario. Ya saya bantu sepanjang tidak menyalahi ketentuan,” kata komandan pengamanan rutan dengan tegas.


Setelah mengklarifikasi kabar buruk yang menerpanya, salah satu komandan pengamanan rutan itu meninggalkan ruangan. Tinggal kami bertiga. 


Dalam perbincangan selanjutnya, pria itu menawarkan aku untuk pindah ke kamar yang lebih baik. Yang isinya hanya empat orang. Dan tentu saja, tidak gratis.


Ia menjelaskan, melihat masih panjangnya proses hukum yang akan ku jalani, sangatlah tepat bila aku mengambil kamar yang lebih layak dan tidak penuh sesak dengan tahanan lain. Agar aku bisa lebih tenang dan konsentrasi dalam menghadapi persidangan nanti. (bersambung)

LIPSUS