Cari Berita

Breaking News

Membaca Sade dalam Burung tak Bersayap

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 16 Maret 2022

SORE kemarin, saya menerima buku yang benar-benar membawa ingatan soal pembelajaran filsafat, terkait teori libertin. Sebuah paham yang berarti, pemikiran bebas dari belenggu agama, berkembang pada abad 17 dan 18 di Prancis. Awal disebut, era pencerahan. Sebab, buku berjudul "Kumpulan Prosa; Burung tak Bersayap" itu, disebut editornya, Isbedy Stiawan ZS, mengingatkan tentang Sade. 

Saya langsung bertanya, Sade siapa? 

Secara gamblang, Isbedy Stiawan ZS mengulas bab ketika Sade dipenjara, namun tetap terus menulis. 

Pada bagian ini, ada kesamaan. Pasalnya, prosa yang mungkin lebih tepatnya jika disebut, kumpulan cerpen dalam "Burung tak Bersayap" ini. Semuanya ditulis Dalem Tehang ketika dirinya masih dipenjara. Mungkin nama penulis ini, masih banyak yang merasa asing. Tapi, dengan membaca prosa Burung tak Bersayap, kita langsung tahu. Dalem Tehang adalah penulis senior yang cukup bernas. Beragam topik, seperti opini, tajuk, karya jurnalistik, sampai model cerita anak, pernah ditulisnya dan terpublis di SKH Lampung Post. Wartawan senior, pasti mengenalnya sebagai suar. Termasuk pasca reformasi, Dalem Tehang memilih berkiprah di parpol. Redaktur Lampung Post, Udo Z Karzi ketika itu, membagikan cerita anak yang tayang pada setiap Minggu, yang ditulis nama asli Dalem Tehang, seraya menyebut. Cerita anak ini ditulis orang hebat. Diposting ke dinding facebooknya.

Lihatlah cerbung "Balada Narapidana" yang kini tayang setiap hari di www.inilampung.com pada jam 19.00 WIB. Hari ini, Rabu 16 Maret 2022 sudah masuk episode 74. 

Dalem Tehang sudah tidak muda lagi. Namun gelora dalam teks-teks sastra yang ditulisnya, roman dan aneka detil problem kehidupan rumah tangga sampai metafora dan beragam lelaku di penjara, diulasnya secara kontemplatif melalui refleksi diri (self-reflection) yang sangat bergelora. Ambisius. Penuh antusiasme dan menginisiasi harapan-harapan. Termasuk, kadang terkesan, menggebu-gebu.

Narasi cerita (story narrative) sampai dengan spekulasi teoritik (theoretical speculation) tentang tokoh Umar, Pak Marwan, atau Dina, semuanya mendulang beragam interpretasi. Akan tetapi, kunci pembacaan prosa "Burung tak Bersayap" ini, cukup jelas diajak editor dalam kata pengantarnya, mengenal Sade. 

Kita ketahui,  nama lengkap Sade adalah Donatien Alphonse Francois de Sade. Lahir pada 1740. Ayahnya, bernama Comte de Sade, seorang bangsawan dan tuan tanah di Perancis. Dengan moyang bangsawan di abad pertengahan, ketika doktrin agama mewarnai semua lini kehidupan, Sade justru mempopulerkan kejahatan secara vulgar. Dia membuat narasi bahwa kebaikan itu berarti penderitaan dan kejahatan itu, kemuliaan. Kemakmuran alam butuh lelaku jahat.

Inilah gambar utuh dari novel Sade yang difilmkan oleh Jesus Franco pada 1966. Kakak beradik, Justine dan Jasmine. Setelah kedua orang tuanya meninggal, kedua perempuan muda itu jadi gelandangan. Hanya dibekali uang 100. Tanpa rumah. Masuk rumah bordil, jadi pilihan. Jasmine menikmati prilaku jahat. Justine kabur, sebab memilih jadi perempuan baik-baik. 

Namun sebagaimana kejahatan yang sampai Sade dijuluki jelmaan setan. Pemilik ajaran sadisme. Mengajarkan Jasmine yang jahat justru kaya raya, menikah dengan pejabat kerajaan. 

Sementara Justine, jadi gelandangan. Buronan dan dituduh sebagai pencuri, pembunuh, terus ditimpa kemalangan dari korban kejahatan yang satu, digilir ke kejahatan yang lain. Termasuk paling banal, masuk rumah ibadah isinya empat lelaki bangsawan pemuja kesenangan dengan ritual menyiksa serta menyakiti wanita.

Begitulah "Burung tak Bersayap" yang coba dinarasikan Dalem Tehang. Bedanya, standar Sade yang memuji prilaku menyimpang, buku ini justru menarasikan kebajikan. 

Jika Sade mengangkat. Tanpa keluarga, tanpa uang sepeser pun dan terpisah dari saudara perempuannya, seorang wanita suci yang cantik harus menghadapi barisan penjahat, orang mesum, dan kemerosotan yang tak ada habisnya. Yang menuntut tidak hanya kebajikannya yang berharga, tetapi juga hidupnya. Burung tak Bersayap, istilah untuk tiga anak kecil yang ditinggal mati ibunya, sedangkan ayahnya masih dipenjara. Justru meramu hope. Lawan dari narasi Sade. Dalem Tehang justru menarasikan, pentingnya nilai-nilai luhur dan spiritualitas.

Buku berisi 17 judul  cerpen dan dijual seharga Rp.70 ribu ini, bagi saya bukan menawarkan filsafat Sade yang penuh kegilaan. Melainkan, menguak banyak permenungan soal, satu nilai dalam hidup yang tidak boleh dicoba. Yakni, masuk penjara. (*)


ENDRI KALIANDA
Esai, Tinggal di Bandarlampung

LIPSUS