------------------------------------------------
Judul: 75 Sajak
Penulis: Nanang R Supriyatin
Pengantar: Isbedy Stiawan Z S
Penerbit: Siger Publisher, Bandar Lampung
Cetakan: Februari 2022
Tebal: xxi + 88 halaman
--------------------------------------------------
Catatan Piet Yuliakhansa
DI awal saya memutuskan untuk mendapatkan buku 75 Sajak karya Penulis yang baru saja memenangkan lomba menulis kenangan tentang Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Bengkel Deklamasi, 2021, yakni belajar puisi dari sang juara. Dan benar saja, ketika saya membaca lembar pertama dari buku puisinya saya disuguhkan rasa untuk terus membuka halaman berikutnya.
Membaca 75 Sajak karya Nanang R. Supriyatin, saya benar-benar merasa duduk di bangku kuliah. Inilah Puisi. Di dalam buku ini saya seperti membaca Chairil Anwar, lugasnya Rendra, ada romansa Sapardi Djoko Damono, hingga nuansa repetisinya Sutardji Calzoum Bachri.
Penyair ini paham sekali tentang Puisi. Dirinya sangat mengenali bahwa puisi adalah bahasa beku atau jalinan kata-kata yang dipadatkan. Hal ini terlihat dari beberapa puisi pendeknya yang hanya terdiri dari dua baris saja (epigram).
ARLOJI
memakai arloji di pergelangan tangan
mengingatkan hidup dekat kematian
19/08/2021
Singkat namun penuh makna. Sejatinya "waktu" begitu dekat.
Nanang R. Supriyatin mampu memberikan keindahan dari sisi tipografi. Bentuk tulisan yang diatur sedemikan rupa tidak hanya menghadirkan rasa, tapi juga menyuguhkan pemandangan yang tak biasa dan begitu asyik dilihat. (Beberapa di antaranya; "DELIRIUM" halaman 59, "SEBELUM SINETRON" halaman 62, "BINTANG JATUH" halaman 72, dan "JIKA" halaman 73).
Jika dilirik dari pemilihan kata atau diksi, hiperbolanya asyik. Personifikasinya tajam dan terasa puisinya memberi ruang bagi pembaca untuk berimajinasi tentang apa yang ditulisnya (imajinatif).
Enjambemen juga kerap menghiasi puisi-puisinya. Menambah kecerdasan dalam membaca terkait dengan nada dan intonasi.
Tiga sekuel yang terbagi dalam 75 Sajak NRS, yakni Nyanyian Cinta, Nyanyian Keseharian dan Nyanyian Hari Tua, menunjukkan bahwa dalam kehidupan yang hanya sebentar ini, hidup haruslah berarti. Pergulatan emosi hadir dalam mengukir cinta untuk dibawanya kembali pada Sang Maha Cinta.
Satu puisi yang cukup mengusik keasyikan saya dan kental sekali dengan gaya Sutardji yakni puisi berjudul "KONTRADIKSI" halaman 77.
KONTRADIKSI
kupesan matahari
tapi kau siapkan hujan
kubawa kau ke rumah sakit
tapi kau siapkan aku keranda
kupesan mimpi yang indah
tapi kau siapkan tanah basah
kubawa kau ke rumah Tuhan
tapi kau siapkan aku kematian
kupesan surga untukmu
tapi kau tanya, di mana neraka?
08/2021
Puisi ini mengingatkan saya pada "TAPI" nya Sutardji Calzoum Bahri
TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resah padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
1976
Akhirnya, seperti yang saya kemukakan di awal, 75 Sajak karya Nanang R. Supriyatin membawa saya pada ruang kuliah: pembelajaran tanpa batas. Kesederhanaan menjadi ciri penulisan yakni huruf kecil pada bait-bait puisinya. Sebuah sahaja yang sarat makna. Kaya akan pengetahuan juga rasa.
Salam puisi bertubi-tubi...*
Editor: Isbedy Stiawan ZS