Cari Berita

Breaking News

Sang Legenda

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 17 Desember 2021

LEGENDA selalu terbangun dalam narasi keberbagaian yang berkalindan dengan prestasi-prestasi. Ketauladanan. Dekat padanan maknanya dengan, sang juara. Ada legenda yang kemudian jadi mitos, keramat, dan sampai pada batas-batas tertentu, mewujud jadi jimat. Sesuatu yang paling berharga dan mesti dijaga eksistensinya oleh semua orang. Sebab, legenda berarti juga keajaiban.

Pada ranah sastra dan kebudayaan di Lampung, Isbedy Stiawan ZS adalah legenda. Sang juara. Perikehidupannya, penuh dengan liku penciptaan, bukan hanya produktif terus menerbitkan dan
mencipta puisi. Keseharian hidupnya pun, sangat puitik.

Isbedy Stiawan ZS tidak muda lagi, namun karya-karyanya, produktifitasnya, jam terbangnya, kemampuan daya saing, dan daya juangnya, jauh mengalahkan banyak anak muda. Bahkan, di era puisi bisa diketik dengan rebahan yang anak milenial punya ketangkasan lebih ketika memainkan gejet, Isbedy Stiawan tak kalah ikut ambil bagian. Termasuk dalam transformasi karya sastra ke audio visual. Melalui kanal yutub misalnya. Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS terus mengalir, bait-bait permenungan, dan meditasi kata terus diciptakan, dipublis kekinian dalam beragam aplikasi medsos. Juga buku yang terus diterbitkan dalam term "Sehimpun Puisi" atawa "Kitab Puisi".

Saya sering bermuka-muka dengan Bang Is, demikian sapaan akrab Isbedy Stiawan ZS.

Bahkan, secara tengil saya sering bertanya atas beragam makna pada karya puisinya, apakah itu nyata atau imajinasi Bang Is. Fakta atau fiksi. Biasanya, beliau selalu mengelak menjelaskan dengan menjawab;

"Terserah interpretasi pembaca. Mau fiksi atau nyata, terserah."

Beliau tahu, pertanyaan saya pasti punya dampak ikutan. Kalau fiksi, alangkah liar imajinasi Bang Is, kalau nyata, alangkah
santu dan kudus "aku" lirik itu.

Misalnya dalam kalimat; "akulah domba-domba itu/yang selalu bebas di padang/dan menderita dalam kandang;/tanganmu menggenggam//aku domba terpisah dari kawanan/maka tak dungu, meski hidungku/dalam kendali...

Puisi berjudul "Aku Domba" dalam Melipat Petang ke Dalam Kain Ibu halaman 70.

Buku Puisi terbitan Siger Publisher, 2016 yang banyak note untuk sebuah nama-nama yang saya kenal itu, selalu terpajang di meja depan komputer tempat saya sering duduk. Oleh Bang Is diberi penanda GM. Jika merasa suntuk, saya baca sembari terpejam buku itu. Mencecap
setiap kata untuk masuk dalam labirin batin terma-terma spiritual dan "Bertasbih bagi Malam".

Ada satu puisi yang diberi penanda untuk saya dalam buku itu, halaman 123. "Membiarkan Rinai Luruh" semacam nasehat dari mursyid ke murid. "bahkan waktu tak bisa kaujamah/saat meninggalkanmu ke entah/malam semakin bergelayut/di anak ranting pohonmu yang aduhai//

Pada beragam kajian "saat" dan deskripsi atas apa itu "kasunyatan" yang menjadi fase lanjutan dari berlatih meditasi, paragraf pertama pada bait puisi "Membiarkan Rinai Luruh" benar-benar jadi pengantar pikiran ke arah masuknya
musim hujan. Suasana di bawah pohon duren, di latar pinggir jalan protokol, lalu-lalang kendaraan dan pancaran neon. Benar-benar kekal. Kenangan itu seolah abadi, seperti tatal di bebatuan yang jadi lukisan; tentang bingkai perbincangan, maupun senda gurau pada beragam fakta.

Bang Is, bagi saya, memang legenda yang hidup. Seluruhnya adalah puisi dan semuanya, jadi puitis. Meski terkadang membuat saya jengkel. Sedang asyik berbincang, mendadak dia ngeloyor, pergi, langsung ke belakang untuk wudhu dan salat. Membuat saya kebingungan, tidak salat tapi saya muslim, mau ikut salat, tetapi, kok kesannya, saya jadi domba juga.
Padahal, kalau boleh memilih, saya lebih suka asu, dibanding domba.

Lihatlah puisi halaman 104 yang juga jadi judul buku "Melipat Petang ke Dalam Kain Ibu" itu;

"di saat petang, batas antara/siang dan malam akan ada/tawaran untuk melawan/atau kalah di kaki langit."

Jika "petang" adalah penanda waktu, "dalam" berarti tempat, ibu merupakan ejawantah Tuhan yang hidup. Sebuah pengajaran spiritual yang sederhana dari Bang Is soal merespon kenangan dan menulis. Yakni, "selamat malam..."

Juga misalnya pada bait ini; "Jika kau tinggalkan rumah, selalu ibu berpesan, ingatlah/senyum pertama ibu/menyambut pula tangismu."

Mata saya mendadak berkaca-kaca. Ketika menulis "prihal kematian" saat takziah ke rumah sahabat yang tampak terpukul dengan kepulangan ibunya. Dan saya langsung bergegas pulang, mencium lengan kasar yang kenyang asam garam kehidupan itu.

Maafkan anak lanangmu, yang tidak berbakti dan jarang pulang ini, Ibu!(*)


Endri Kalianda
Esais Tinggal di Bandarlampung

LIPSUS