GUNUNG, bagi saya merupakan lokasi paling penuh misteri. Keindahan berbalut belantara. Atau karena hutan belantara itulah, sebuah panorama dianggap sebagai keindahan?
Gunung itu, selalu penuh nuansa mistik. Berpadupadan dengan kenangan.
Terkesan. Belum paripurna mukim atau wisata di Lampung, sebelum menjelajah beragam pesona gunung. Diantaranya, Gunung Betung.
Bersama rombongan dari KGM (Komunitas Gedung Meneng) saya berkesempatan menikmati Pesona Gunung Betung. Hanya berjarak 13 km dari Bandarlampung, kami masuk lewat Desa Wiyono Kabupaten Pesawaran, mobil jenis inova bisa naik sampai pos pertama pendakian.
Kami bertemu rombongan anak muda. Bersiap naik ke puncak Gunung Betung selepas maghrib. Selang beberapa hari jelang masuknya bulan puasa.
Menurut beberapa anak muda dari Mapala Unila, berasal dari Pringsewu itu, mengakui, dia dan rekan-rekannya sering melakukan pendakian dan bermalam di puncak Gunung Betung. Berangkat dari rumah. Lebih nyaman mengendarai sepeda motor, bisa parkir dan menyiapkan perbekalan mendaki di pos pertama. Beaya parkir, hanya sekitar Rp. 5 ribu.
Meski ada dua rumah yang bisa disewa untuk menginap, kami memutuskan pulang terlebih dahulu. Mendaki malam hari meski menjanjikan keindahan, membuat saya yang kian berumur tak terlalu yakin bakal kuat. Diputuskan, pulang dan datang lagi esok hari.
Tiga Destinasi
Bareng cahaya terik matahari kami layaknya pendaki. Bersiap.
Ada tiga titik destinasi yang layak dikunjungi dari pos pertama. Rombongan KGM, yang sering banyak tertawa di perjalanan, hanya mampu sampai di titik pertama. Yaitu, air terjun.
Hanya berjarak 3280 langkah berbasis perhitungan aplikasi samsung health. Pulang pergi, cukup menjadikan syarat terpenuhinya kebutuhan hidup sehat yang sehari minimal harus bergerak dengan 6 ribu langkah.
Bagi orang normal, tak lebih dari 20 menit berjalan, sudah sampai ke pamandian bidadari itu. Meski bagi kami, yang banyak berpapasan dengan anak-anak Mapala, mereka banyak mengalah, menepi ke persimpangan ketika rombongan KGM tertatih-tatih mendaki jalan tanah setapak yang sudah dibuat berudak itu.
Terdengar mereka mengeluh, kelamaan menunggu. "Lambat amat," kata mereka saling berbisik.
Saya yang mendengar. Langsung menyentak.
"Diam, anak muda. Saya sudah tak bisa tertawa!"
Berucap sambil tersengal, keringat mulai bercucuran, lutut mulai bergetar. Alih-alih marah.
Anak-anak muda yang tidak kami kenal itu justru menjawab. "Siap. Mohon maaf Pak Tua. Tetap semangat."
Begitu masuk ke rerimbun pepohonan, vegetasi tanaman mulai terlihat rapat. Suasana mulai dingin. Lembab. Suara grojokan air kian nyaring. Tergurat aura kegembiraan, bakal merasakan kesejukkan kungkum. Berendam.
Bagi orang yang jarang berolah raga, jalan kaki dari pos ke air terjun, sangat ideal. Cukup membuat lutut gemetar dan keringat dingin mengucur deras.
Tujuan kedua, yakni puncak Gunung Betung yang bisa dijadikan lokasi berkemah. Saya belum berani mendaki ke sana. Namun, cerita anak Mapala yang baru turun menggambarkan eksotisme. Melihat kemerlip lampu dan wajah kota Bandarlampung malam hari atau sekaligus laut pada pagi harinya.
Dan yang bisa dijadikan destinasi ketiga, makam. Kuburan tua. Kami, terutama saya dan Antoniyus Cahyalana, sudah bersiap bakal ke sana, berniat mencari jimat dan atau pusaka leluhur. Sebab, teman saya ini bilang, ada kemungkinan, leluhurnya dari silsilah Tamong dia, yang dimakamkan di puncak Gunung Betung itu.(*)
*)Endri Y
Pegiat Komunitas Gedong Meneng