Putri Salsa, Legal Officer, Justice Without Borders Indonesia
INILAMPUNG.COM, Jakarta - Pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia yang pulang dari Singapura dan Hongkong, yang menjadi korban eksploitasi atau pelecehan, kini memiliki jalan untuk mengajukan tuntutan perdata terhadap pelakunya.
Hal ini berkat upaya Justice Without Borders (JWB), organisasi nirlaba regional, yang terbukti berhasil menyelesaikan gugatan perdata lintas batas bagi para pekerja migran.
Hari ini, Selasa (15-12-2020), JWB meluncurkan kampanye publisitas Percaya Bersama, menggunakan media tradisional dan sosial, untuk lebih meningkatkan kesadaran tentang bagaimana pekerja migran Indonesia dapat mencari bantuan untuk bantuan hukum lintas batas, bahkan setelah mereka kembali pulang ke negara asal mereka.
“Setiap tahun, ribuan PRT migran Indonesia pulang ke rumah setelah menyelesaikan kontrak mereka atau setelah pemutusan hubungan kerja oleh majikan mereka. Di antara mereka, banyak yang mengalami eksploitasi atau pelecehan saat bekerja di luar negeri. Sayangnya, sebagian besar tidak mengejar keadilan setelah kembali ke rumah. Ini karena mereka tidak tahu harus kemana mencari bantuan ukum saat kembali ke Indonesia. Sebagian besar tidak percaya bahwa ini merupakan hal yang masih dapat diupayakan,” kata Eva Maria Putri Salsabila, Legal Officer JWB Indonesia.
Eva Maria mengungkapkan, sejak tahun 2017, pihaknya telah menyaring sudah lebih dari 500 kasus yang melibatkan PRT Migran berhasil mendapatkan kompensasi setara dengan gaji PRT Migran.
“Sejak JWB dimulai pada 2017 di Indonesia, kami telah menyaring lebih dari 500 kasus yang melibatkan PRT migran Indonesia, dan mewakili banyak klien untuk mendapatkan kompensasi, mulai dari 3 hingga 24 bulan setara dari gaji mereka, yang dapat mereka dapatkan bahkan di kampung halaman.
Menurut dia, keberhasilan JWB menunjukan bahwa ligitasi lintas batas sangat mungkin dilakukan.
"Keberhasilan kasus kami menunjukkan bahwa litigasi lintas batas merupakan hal yang amat mungkin! Kampanye Percaya Bersama JWB berupaya untuk mengedukasi lebih banyak PRT migran Indonesia di Singapura dan Hongkong tentang hal ini.
Kami percaya bahwa jika ada lebih banyak kesadaran tentang topik ini di antara komunitas pekerja migran dan pemangku kepentingan, maka hal tersebut merupakan hal yang lumrah untuk diperbincangkan, sehingga akan ada lebih banyak lagi PRT migran Indonesia yang maju untuk mengejar keadilan bagi diri mereka sendiri.” terangnya.
Migrasi tenaga kerja adalah fenomena global yang menguntungkan negara tuan rumah dan negara asal. Saat ini, terdapat lebih dari 300 ribu PRT migran asal Indonesia yang bekerja di Singapura dan Hong Kong saja, dan ada lebih dari dua kali lipat dari jumlah tersebut yang telah pulang.
Upah yang diperoleh para pekerja rumah tangga, yang sebagian besar adalah perempuan, merupakan sumber kehidupan penting bagi keluarga dan komunitas mereka di kampung halaman.
Sayangnya, para perempuan ini menghadapi kerentanan yang signifikan terhadap beberapa bentuk eksploitasi terburuk di tempat kerja; termasuk upah yang minim, bayaran ilegal, kondisi kerja yang berbahaya, kurungan, jeratan hutang, kerja paksa, penyerangan, dan bahkan pelecehan seksual.
Meskipun yurisdiksi tuan rumah seperti Singapura dan Hong Kong memiliki aturan hukum yang kuat, pekerja migran diwajibkan untuk tetap berada di negara tersebut bila mereka akan mengajukan klaim mereka di pengadilan setempat.
Dalam kurun waktu pengajuan tuntutan ini, mereka tidak dapat bekerja atau mendapatkan gaji, dan ditempatkan di tempat penampungan yang jauh dari keluarga dan orang yang dicintai.
Jadi, ketika proses litigasi perdata berlangsung selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, kebanyakan dari mereka merasa sangat sulit untuk tetap berada di negara tuan rumah untuk mencari keadilan.
Sayangnya, sistem bantuan hukum di Hongkong dan Singapura tidak dapat menjangkau para pekerja ini ketika mereka kembali ke Indonesia karena mereka tidak memiliki jaringan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung akses pekerja initerhadap sistem keadilan di sana.
Karena itu, banyak pekerja yang akhirnya melepaskan haknya sama sekali. Pada saat yang sama, kejahatan yang dilakukan oleh oknum di negara tempat PRT migran ini bekerja paham bahwa mereka akan selalu terbebas dari jeratan hukum dan tanggung jawab begitu mereka mengirim pekerja mereka pulang.
Justice Without Borders didirikan untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan kantor di Singapura, Indonesia, dan Hongkong, JWB menyediakan jalur kehidupan berkelanjutan untuk bantuan hukum dengan menumbuhkan komunitas yang membuat akses internasional terhadap keadilan menjadi nyata:
JWB mengembangkan kemitraan kerja dengan pengacara pro bono, pekerja sosial, organisasi masyarakat, lembaga pemerintah, dan pekerja migran di Hong Kong, Singapura, Indonesia, dan Filipina.
Melalui kolaborasi dan peningkatan kapasitas, kami memberdayakan masyarakat dengan keahlian kami dalam akses keadilan lintas batas. Saat ini kami memiliki kemitraan dengan lebih dari 60 organisasi di seluruh yurisdiksi kami.
Di Indonesia, mitra utama kami termasuk Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Pertakina, KAMI Indramayu, dan masih banyak lagi.
“Sejak 2018, Kementerian Luar Negeri RI telah bekerja sama dengan Justice Without Borders. Kemitraan strategis ini bertujuan untuk membantu pekerja migran Indonesia mendapatkan hak-hak mereka, sekalipun mereka telah kembali ke tanah air.
Kami memandang kepakaran JWB dalam menangani litigasi perdata lintas batas merupakan elemen penting dalam kerja sama ini,” ujar Wina Retnosari, Kasubdit Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Kemlu RI. (mfn/rls/inilampun.com)