Salah satu sudut daerah Bungamayang yang menjadi satelit perekonomian masyarakat. Foto. Ist. |
INILAMPUNG.COM, Bungamayang--Sunset sudah tenggelam ketika Tim Inspektorat Komoditas Tebu PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Holding sampai ke Patok 91, Afdeling III, Perkebunan Tebu PG Bungamayang, Lampung Utara, beberapa waktu lalu.
Tim yang dipimpin Daniyanto itu merasa harus datang ke tempat itu untuk memastikan proyek pembangunan embung penyimpan air itu sesuai rencana. Hanya kebagian waktu sekilas karena sebelumnya mereka begitu serius menyisir olah tanah, tanaman muda, dan proses tebang tebu di beberapa lokasi.
Langit redup, gelap menjelang. Namun, air jernih dengan permukaan lebung luas itu seperti memanggil untuk disapa dengan tongkang.
Bersama Direktur PTPN VII Doni P. Gandamihardja dan Direktur PT Buma Cima Nusantara Putu Sukarmen, mereka mendayung getek kayu untuk sekadar mengecek luas dan kedalaman lebung.
Di pinggir danau buatan seluas lebih satu hektare itu ada Pohon Bunut setinggi sekira 12 meter. Entah ide siapa, pada ketinggian sekitar delapan meter, pohon tersebut dipasang sebentuk shelter bordes sehingga menjadi menara pantau lengkap dengan tangga. Dan dari balkon di atas pohon beralas air danau, pemandangan kebun tebu selaksa permadani luas yang digelar mengitari.
Gelap mulai membekap. Dari arah utara, sekumpulan sinar seperti kunang-kunang mulai terang. Semakin gelap, cahaya-cahaya dari Kompleks Pabrik Gula Bungamayang itu menegaskan sebagai “kota satelite” di tengah belantara. Terang di antara gelap pada pandangan 360 derajat.
“Pemandangan pabrik (PG Bungamayang) kalau malam dari sini memang bagus banget. Kayak ada kota di tengah lautan,” kata Teguh, salah satu karyawan yang sehari-hari menjaga menara pantau ini.
Moncernya PG Bungamayang milik PTPN VII yang kini dikelola PT BCN, salah satu anak perusahaannya, ini bukan hanya dari sinar terang di tengah kegelapan saja. Secara nyata, dibangunnya kebun tebu seluas lebih dari 10 ribu hektare dengan satu unit pabrik berkapasitas giling 7.000 ton tebu per hari ini memancarkan gelombang ekonomi yang begitu kuat.
Di lipatan belantara sejauh 180 kilometer dari Bandarlampung itu, ada mobilisasi modal, investasi, tenaga ahli, produk baru, dan resources modernitas lain yang kontras dengan wilayah sekelilingnya.
“Kebun tebu ini mulai dibuka sekitar tahun 1980. Terus, mulai bangun pabrik itu sekitar tahun 1982. Waktu itu disini masih hutan lebat. Saya masih kecil, tetapi tahu persis karena bapak saya memang tetua di sini,” kata Suryadi Hipni, salah satu tokoh yang kini menjadi mitra perusahaan.
Suryadi mengisahkan, tanah kelahirannya itu dikenal dengan sebutan Ketapang. Daerah yang masuk teritorial Kabupaten Lampung Utara itu adalah salah satu daerah tujuan transmigrasi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, karena medan yang berat, tanah perladangan yang tidak terlalu subur, setelah masa pembinaan dengan pemberian natura (jadup) berupa makanan pokok dari pemerintah selesai, para transmigran tak mampu bertahan.
“Memang tanah daerah sini kurang subur kalau untuk padi. Jadi, para transmigran begitu jadupnya habis, mereka pada pulang ke Jawa. Tetapi begitu dengar di sini didirikan pabrik gula, mereka balik lagi,” kata petani tebu rakyat yang saat ini menggarap 30 hektare bermitra dengan PTPN VII itu.
Pernyataan Suryadi diiyakan Wahyu, salah satu generasi kedua para transmigran di wilayah Ketapang ini. Sekretaris Koperasi Tebu Rakyat mitra PTPN VII itu mengatakan, sejak proses pembangunan pabrik gula ini, ekonomi masyarakat bergeliat.
Wahyu menggambarkan masyarakat wilayah Ketapang dan sekitarnya sangat erat hubungan ekonominya dengan pabrik gula dan kebun tebu PTPN VII. Pada musim tanam dan perawatan tebu di kebun, ada ribuan tenaga kerja mendapat rezeki dari perusahaan BUMN ini. Dari buruh tanam tebu, pemupukan, penyiangan, klentek, hingga tebang.
“Terus terang, saya sulit menggambarkan kalau nggak ada pabrik gula Bungamayang ini di sini. Bungamayang ini kampung Suku Lampung dengan sebutan Marga Sungkai Bungamayang yang jauh dari kota. Nah sekarang, orang-orang kalau mau belanja onderdil mobil truk, ya pada ke sini. Bukan ke Kotabumi (kota kabupaten terdekat),” kata Wahyu.
Penggambaran keberadaan toko suku cadang mobil oleh Wahyu adalah simbol betapa Bungamayang sebagai daerah ekonomi baru yang dipengaruhi oleh aktivitas pabrik gula PTPN VII. Wahyu menyebut, ada ratusan bahkan seribuan truk milik warga sekitar yang mendapat order mengangkut tebu dari kebun PTPN VII ke pabrik. Tak heran Wahyu menyebut ada sedikitnya empat toko spare part truk berbagai merek buka hampir 24 jam di Bungamayang.
“Kalau buka 24 jam sih, enggak. Tapi ada beberapa toko yang merangkap bengkel, kalau ada truk mogok di tengah kebun, jam berapa saja ditelpon, datang untuk nyervis. Jadi, kalau sudah musim buka giling seperti sekarang ini, di sekitar lokasi ini hidup 24 jam,” tambah Wahyu.
Tentang multiflier effect pabrik gula, Kusriyanto (47) menjadi salah satu saksinya. Buruh tani yang tinggal di Desa Sidodadi, Kecamatan Sungkai Selatan ini berharap PG Bungamayang musim giling terus sepanjang tahun. Sebab, pada musim giling, bapak empat anak ini bisa bekerja sebagai tenaga tebang yang mendapat penghasilan cukup lumayan.
“Kalau pas musim giling begini, saya tenang. Setiap hari saya ada kerjaan. Sehari, kalau kerja serius bisa dapat Rp100 ribu,” katanya didampingi istri yang menyusul bersama dua anaknya yang masih kecil-kecil menjelang waktu pulang, awal Agustus 2020 lalu.
Kusrianto tidak sendirian. Kebun tebu yang membentang seluas sekitar 10 ribu hektare itu selalu “dikeroyok” ribuan orang untuk memenuhi kapasitas pabrik setiap hari. Pabrik dengan kapasitas terpasang 7.000 TCD (ton cane per day, ton tebu per hari), dibutuhkan lebih dari 4.000 orang penebang tebu setiap hari.
“Kalau dalam kondisi normal, paling tidak kita mempekerjakan 4.000 pekerja borong tebang setiap hari. Kalau satu orang dibayar Rp100 ribu, sudah berapa uang yang beredar di masyarakat seharinya,” kata Irma Kurniawati, salah satu petinggi PT BCN.
Irma menambahkan, relasi antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar di PG Bungamayang sudah seperti hukum ekonomi lokal. Jika perusahaan terganggu operasionalnya, baik oleh sebab teknis maupun faktor eksternal, ekonomi warga ikut sakit. Sebaliknya, jika giling lancar, tanaman bagus, cuaca mendukung, harga bagus, dan tidak ada gangguan dari luar, kesejehtaraan rakyat sangat terasa.
“Hubungan ini sudah sangat lama dan seperti mengikat di dua pabrik kami, PG Bungamayang dan Cintamanis di Sumsel. Jadi, walaupun ada berdiri pabrik baru dari swasta di sekitarnya, ikatan ekonomi kami dengan masyarakat sudah sangat kuat dan saling membutuhkan,” kata Irma yang sangat konsen dengan manajemen sumber daya manusia ini.
Secara keseluruhan, Direktur PT BCN Putu Sukarmen mengatakan, keberadaan PG Bungamayang maupun Cintamanis di tengah masyarakat adalah magnet yang menarik resources ke simpul baru ekonomi. Oleh karena itu, dia minta dukungan semua pihak, terutama para tokoh dan stakeholder agar PTPN VII dengan aset dan kegiatan usahanya tetap berjalan.
“Kalau tidak ada usaha di sini, duit itu nggak akan pernah mampir ke sini. Duit triliunan cuma berputar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Nah, dengan usaha ini, kita bisa menarik dana itu beredar ke sini sehingga kita, dari buruh tebang, pedagang pecel, toko sembako, sampe sopir truk bisa sejahtera,” kata pria Bali kelahiran Lampung Timur itu. (mfn/rls/inilampung.com) .