Oleh: Indah Noviariesta*
KITA mengenal kata-kata orang bijak yang menyatakan bahwa, jika kita mampu mengobati semesta mikro yang ada di sekeliling kita, niscaya semesta makro akan mengalami kesembuhan dengan sendirinya.
Kadang kita mengembara (travelling) ke mana-mana, tapi tak pernah terketuk untuk mengembara ke dalam diri. Kadang kita pun sibuk menilai dan membaca orang lain, tanpa ada kemauan untuk berusaha membaca diri.
Boleh jadi kita melakukan sesuatu yang secara kasat-mata dianggap besar dalam penilaian manusia, namun belum tentu itu berharga dalam pandangan Tuhan. Begitupun sebaliknya, mungkin saja kita melakukan sesuatu yang nampaknya kecil dan sepele, tapi ternyata cukup besar artinya di mata Tuhan.
Dalam perjalanan dari Cilegon menuju Rangkasbitung, Banten, saya pernah menyaksikan sepeda motor berhenti di sisi jalan, saat angin sedang menerpa kencang. Ketika dilihat pengendaranya, rupanya dia sedang bersusah-payah menggeser sebatang pohon yang baru roboh, dalam posisi melintang di tengah jalan. Sepanjang perjalanan itu saya merenung, betapa mulianya pekerjaan orang itu. Kalau dia mau, bisa saja dia biarkan batang pohon itu tergeletak di jalan, lantas mengambil gadget untuk memotretnya, kemudian mengambil gambar kemacetan panjang yang akan terjadi. Setelah itu, mengunggah ke media sosial sambil memaki-maki Pemda atau Dinas Perhubungan, dan seterusnya.
Saya percaya, sang pengendara motor itu, bila melihat insiden dadakan seperti menemukan balok di tengah jalan, kelapa yang jatuh, asap bekas bakaran, dia akan memilih untuk menyelamatkan nyawa banyak orang ketimbang sibuk mengunggah dan menyebarluaskan, serta mencari-cari siapa yang harus dipersalahkan.
Tipikal yang Berbeda
Ada juga tipikal manusia yang begitu obsesif ingin mengubah dunia. Kalau bicara memang terkesan menunjukkan dirinya harus melakukan hal-hal besar bagi perubahan makro Indonesia. Dia tidak menyadari bahwa pendekatan terpenting adalah persoalan nilai-nilai, hingga terjebak pada hal-hal yang sifatnya kasat-mata belaka. Dia seakan lupa bahwa tidak ada manusia yang menjadi besar dengan membesarkan ego-ego dan keangkuhan dirinya.
Kadang saya bertanya-tanya, mengapa banyak orang ingin menyelesaikan persoalan bangsa dengan pendekatan makrosopik melulu, dan bukan mikrosopik. Kita inginnya terlihat besar dan wah, padahal kita belum sempat mendeteksi inti dan esensi dari permasalahan yang sebenarnya. Kita lebih cenderung menghargai tokoh besar dengan kerja yang kecil, ketimbang orang kecil dengan hasil kerja yang besar. Di kalangan akademisi dan intelektual pun dikenal istilah “sindrom megalomania” yang cukup mengkhawatirkan. Tidak sedikit perguruan tinggi yang membanggakan nama besar almamaternya, padahal untuk bersaing di tingkat Asia saja kelimpungan setengah mati.
Kita semua harus berani membalik logika bahwa kebutuhan manusia saat ini semakin berorientasi kepada hal-hal yang sifatnya kecil, simpel, dan sederhana. Saat ini adalah era di mana kita harus mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar. Kita harus berpikir ke dalam (inward), bukan lagi keluar (outward). Karena penyebab persoalan bangsa yang tak pernah kunjung usai, dikarenakan kita sibuk berpikir dalam skala makro, rumit, njelimet, mempersulit diri. Dan akar masalahnya, memang dibikin-bikin oleh ulah dirinya sendiri.
Misalnya, kita membaca karya sastra tentang lika-liku kehidupan masyarakat Kampung Jombang (Perasaan Orang Banten). Hal itu tak lepas dari problematika, bahwa suatu kampung tempat penulis itu lahir dan tumbuh, merupakan cermin dari skala makro kehidupan global semesta ini. Dengan mengulik lika-liku kehidupan di kampung Jombang, dengan sendirinya kita bicara tentang Indonesia secara keseluruhan. Dan jika kita bicara tentang Indonesia, dengan sendirinya kita juga bicara tentang pikiran semesta dalam skala makro.
Membaca dan meneliti karya semacam itu, kita lantas tidak sungkan untuk introspeksi dan berkaca diri, apakah kita ingin menjadi lebih baik, ataukah hanya sekadar ingin dipandang besar, senior, dan terkenal oleh pihak lain.
Memang sulit untuk disangkal dan dimungkiri, lantaran pikiran manusia hakikatnya dikendalikan oleh faktor terdalam yang kemudinya adalah kesadaran diri (self awareness). Solusi bagi peradaban masa depan adalah petualangan dan pengembaraan kita ke dalam diri, sebagai inti dari semua makhluk hidup, yakni lingkungan sekitar hingga ke sel-sel dan molekul dalam tubuh kita.
“Dan di dalam diri kamu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikannya?” (Adz-Dzariyat: 21)
Corona dan Delusi Paranoid
Banyak orang merasa tersinggung, ketika Menteri Kesehatan, dr. Terawan memperingatkan soal delusi paranoid yang menghinggapi bangsa akibat ramainya isu mengenai virus corona. Padahal, sang menteri bicara apa adanya perihal delusi kejiwaan bangsa ini. Bahkan, jika Anda pernah membaca novel Pikiran Orang Indonesia (Hafis Azhari), novel tersebut berhasil mengulik akar sejarah dari maraknya delusi skizofrenia yang banyak diderita oleh bangsa ini.
Virus corona hanyalah problem fisik. Belum menyangkut yang lebih terdalam, faktor psikis manusia. Jikapun tubuh manusia modern (milenial) diibaratkan sistem keamanan dalam tembok-tembok kerajaan yang rapuh, analogi seperti ini ada benarnya.
Penyakit degeneratif yang menyerang sistem kekebalan tubuh kita, dikarenakan sehari-hari pergaulan hidup kita yang rentan terhadap penyakit. Makanan cepat saji, lemak, kolesterol, gula dan lain-lain. Di sisi lain, seberapa banyak dari anggota tubuh kita yang bergerak – kecuali jari tangan, leher dan bola mata – ketika berjam-jam kita menghadapi laptop, komputer, gadget dan perangkat teknologi lainnya.
Di samping tembok kerajaan yang rapuh, ditambah balatentara yang tertidur pulas. Sementara kekuatan musuh terus mencari-cari inovasi dan strategi baru, maka virus jenis apapun yang menyusup masuk sambil mendobrak benteng kerajaan, jelas mengagetkan semua pihak. Jangan sampai ada orang Indonesia mengalami sekadar bintik-bintik di lengannya, tapi karena tidak memahami, bahkan tak pernah mau mempelajarinya, tahu-tahu ia mati mendadak karena serangan jantung. Bukan karena virus sepele yang menimbulkan bintik-bintik di lengannya.
Tentu ada benarnya jika menteri kesehatan memperingatkan bangsa ini agar tidak terjangkiti delusi paranoid maupun skizofrenia. Sebab, stigma-stigma politik yang menimbulkan phobia bangsa ini sejak tahun 1965 (tergambar jelas dalam Pikiran Orang Indonesia) membuat para penguasa terlena dan enak-enakan menjadikan kebodohan dan kepanikan massa sebagai komoditas politik mereka. Inilah yang harus kita hindari bersama.
Mulai saat ini, kita harus berani berekplorasi dan berpetualang ke dalam diri sendiri, dari hal-hal kecil dan sederhana. Mari kita memacu diri dan berlomba dalam kebaikan, serta menabur benih-benih kearifan dan kasih sayang, yang merupakan nucleus dari penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
*Penulis adalah alumni jurusan Biologi, Untirta Banten dan juga aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa.
**Artikel yang sama pernah tayang di kiblat.net