Oleh Ichwan Azhari
Sekitar tahun 2010 patik di undang Bang Dr. Shafwan Hadi Umry sebagai narasumber seminar tentang kebesaran Amir Hamzah di Bina Graha Medan. Waktu itu patik jelaskan jangan lah mengukur kebesaran Amir Hamzah semata dari tragedi kematiannya yang dibunuh dalam "Revolusi Sosial". Mengaitkan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan pada beliau sebagai korban "Revolusi Sosial" patik katakan pengerdilan peran penyair besar ini dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Beberapa tokoh Melayu yang hadir dalam acara itu patik lihat agak masam mukanya ke patik. Tapi tak apalah, mereka tak faham sejarah sastra, mereka hanya kenal Amir Hamzah jadi ikon korban "Revolusi Sosial".
Tahun 2009 patik menerima manuskrip sangat bagus tentang Amir Hamzah dari dan ditulis oleh bang Damiri Mahmud berjudul "Menafsir Kembali Amir Hamzah" untuk patik carikan penerbitnya. Bertahun dan lama sekali baru bisa patik dapatkan penerbitnya, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baprasda Sumut) di Medan tahun 2012 dan langsung dibuat acara bedah bukunya. Patik senang karena bang Damiri Mahmud gembira akhirnya bukunya bisa diterbitkan walau lama sekali menunggu. Dan buku Menafsir Kembali Amir Hamzah sebenarnya sangat menarik karena seorang otodidak sastra (tak pernah kuliah di perguruan tinggi) bisa membanting tokoh-tokoh hebat sekaliber Prof. Dr. A. Teeuw yang dinilai Damiri Mahmud keliru dalam memahami Amir Hamzah.
Dalam bukunya, Damiri Mahmud menyebutkan kekeliruan para pengkaji Amir Hamzah seperti H.B. Jassin, A.H. Johns, A Teeuw, Abdul Hadi WM, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain yang menganggap Amir Hamzah penyair sufi yang syairnya bersifat utopia. Damiri Mahmud justru membalikkan semua asumsi para pengkaji-pengkaji itu dengan berbagai analisis terobosannya. Menurut analisisnya pendapat para ahli itu terasa janggal karena mengkaji biografi Amir Hamzah dengan sepenggal-sepenggal. Bagian-bagian lain dari hidup Amir Hamzah tampak diabaikan, seperti Amir Hamzah yang justru belum sempat mendalami mistik dan tasawuf semasa hidupnya, kesibukannya pada studi dan pergerakan kemerdekaan, serta kisah percintaanya dengan Aja Bun dan Ilik Sundari yang cukup mendalam hingga melahirkan kumpulan sajak Buah Rindu dan Nyanyian Sunyi. Damiri juga berpendapat, para pakar tersebut telah keliru menafsirkan syair Amir Hamzah akibat tergelincir pada kehalusan ungkapan estetik pada sajak-sajak percintaanya yang mampu membawa pembaca ke alam trasendental dan bersifat sakral. Misalnya pada syair berjudul Padamu Jua dalam liriknya "Habis kikis / Segala cintaku hilang terbang", "Kaulah kandil kemerlap / Pelita jendela di malam gelap", dan "Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar Tangkap dengan Lepas". Dianggap para kritikus itu lirik sufi tentang ketuhanan. Ini disanggah keras Damiri, ini tentang cinta. Diksi kaum sufi yang diperiksa Damiri tidak pernah menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang ganas.
Dalam penutup bukunya, Damiri Mahmud menyatakan Amir Hamzah merupakan penyair pionir yang telah mempergunakan semaksimal mungkin piranti bahasa dan sastra seperti bunyi, rima, irama, diksi, majas, dan piguran bahasa guna mendukung bentuk dan isi sajaknya menuju keharmonian makna. Amir Hamzah begitu pawai memperbaharui kontruksi bahasa Melayu tanpa menghilangkan keeksotisannya sehingga dapat tetap hidup menjadi Bahasa Indonesia yang dinamis seperti sekarang ini.
Inilah sumbangan besar Amir Hamzah bagi kebudayaan Indonesia moderen. Dialah "Raja Penyair Pujangga Baru" dalam arti sesungguhnya. Bahasa, jiwa Bangsa. Dan itu dilakukan oleh pujangga besar asal Sumatera Utara. Kini, entah apa sebabnya, propinsi ini tidak bisa lagi melahirkan tokoh besar seperti ini. Tapi Sumatera Utara masih beruntung memiliki Damiri Mahmud, sastrawan, esais, kritikus sastra terkemuka yang tidak lulusan perguruan tinggi tapi berani menantang dan berdebat dengan tokoh tokoh sastra kaliber internasional. HB Jassin dan tokoh tokoh sastra nasionalpun salut pada Damiri Mahmud. Semoga bang Damiri tetap sehat di usia yang semakin sepuh ini dan buku "Menafsir Ulang Amir Hamzah" ini dapat diterbitkan ulang secara nasional agar bisa dijadikan rujukan dalam mengoreksi pendapat yang keliru tentang sastra yang masih dipelajari di sekolah sekolah sampai saat ini. Jangan katakan lagi Amir Hamzah menulis sajak mistik atau penyair sufi walau lewat sajak "PadaMu Jua" sekalipun.
Amir Hamzah dan Damiri Mahmud, berasal dari propinsi yang lama paceklik dan merindukan kehadiran kembali karya dan tokoh besar yang di masa lalu pernah menggetarkan Indonesia.