Anak menjawab, "Di sekolah baru tidak ada guru yang teriak-teriak dan teman yang suka nendang-nendang teman lainnya."
Penurunan tingkat kekerasan adalah hal yang paling berkesan bagi anak di sekolah baru.
Jawaban tersebut mengingatkan pada survei Plan International dan International Center for Research for Women yang menyebutkan bahwa 84% anak di Jakarta dan Banten mengalami kekerasan di sekolah, lebih tinggi dari rerata hasil survei mereka di lima negara Asia: 70%.
Di sisi lain, 75% anak menyatakan bahwa mereka juga melakukan kekerasan pada teman mereka.
Perundungan di sekolah menarik perhatian ketika menjadi berita utama saat ada siswa/i yang meninggal, tapi selebihnya senyap. Ya, kekerasan di sekolah adalah bencana dalam sunyi.
Psikologi komunitas yang saya pelajari menawarkan pendekatan sekolah sebagai komunitas dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Upaya pencegahan kekerasan perlu menjadi upaya bersama. Kepala sekolah di sekolah anak yang baru menyatakan bahwa pencegahan kekerasan adalah hal serius yang menjadi concern mereka.
Hal yang membuat saya bertanya apakah seseorang harus bersekolah di sekolah mahal (sic) untuk mendapatkan sekolah nir kekerasan yang seharusnya menjadi hak semua anak?
Karena hobi menyusun program maka saya memborong buku tentang kekerasan di sekolah di internet. Niatnya ingin serius belajar sebagai bahan mengadaptasi program pencegahan kekerasan di sekolah untuk konteks Aceh.
Melihat saya pulang dari Jakarta membawa banyak buku tentang kekerasan di sekolah, anak (yang kalau ditanya orang apa pekerjaan ayahnya akan menjawab "Ayah saya seorang peneliti") berkomentar, "Ayah mau meneliti kekerasan di sekolah? Itu penting Yah."
Meskipun upaya ini di-endorse anak saya, lima bulan berlalu dan belum satu pun buku tentang kekerasan di sekolah yang saya tamatkan, apatah lagi membuat corat coret draft adaptasi program. Maklum, sedang ramai tawaran konser di sana sini.
Ketika jauh dari anak dan merindukannya, saya jadi ingat cita-cita itu. Semoga saya segera sanggup meluangkan waktu untuk melakukan sesuatu yang dianggap sebagai inisiatif penting oleh anak saya dan jutaan anak lain di Indonesia. (*)
Ibnu Munzir
Alumni Psikologi Universitas Indonesia